Kemudian saya mengajukan usulan lagi.
“Kalau tidak setuju di kantor saya, berkas isian survei ditinggal saja, nanti saya isi,” kata saya.
Opsi itu pun tidak diterima. Alasannya dia yang harus mengisi seluruh questioner tersebut.
Sampai di situ saya kehilangan kesabaran. Waktu shalat semakin pendek, demam di tubuh saya pun kian menjadi. Dengan berat hati saya mengungkapkan rasa jengkel saya.
Baca Juga:Menimbang Kurikulum SD Berbasis KeterampilanMelatih Sikap Kerjasama Anak Melalui Kegiatan Bermain Cublak-Cublak Suweng
“Kalau begitu, saya tidak usah jadi sampling lagi dalam survei ini,” kata saya.
Tapi jawabannya di luar dugaan.
“Nara sumber yang lain sudah mengisi questioner semua.”
Saya katakan dengan kalimat yang agak vulgar.
“Nama saya dicoret saja dari daftar sampling survei. Saya tidak usah diwawancara lagi kalau memang tidak bisa negosiasi tempat dan waktu,” kata saya.
Sebenarnya si mbak mengenakan pakaian biru langit sudah berusaha menengahi bahwa wawancara tidak mesti sore itu. Tapi petugas survei yang satunya tetap bersikeras harus wawancara sore itu dan tidak mau di tempat lain. Dengan terpaksa saya mengeluarkan kata-kata terakhir yang agak vulgar.
“Saya tidak usah diwawancarai lagi. Anda datang ke sini bikin saya emosi saja,” kata saya sambil menutup pintu gerbang dan bergegas shalat Ashar ketika melihat jam saya lihat nyaris jam 16.30.
Betapa psikologi komunikasi sangat menentukan respons seseorang akan positif atau negatif. Akan diterima dengan baik atau tidak. Tapi demikian keadaan yang terjadi. Bisa jadi mereka dikejar target yang luar biasa tinggi dan waktunya mepet. Tapi kalau sikap mengabaikan psikologi komunikasi bisa jadi banyak nara sumber yang enggan untuk diwawancara. Semoga memberikan inspirasi. (*)