Radarpekalongan.id – Paska pandemi Covid-19, ancaman resesi 2023 ikut menjadi sorotan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Resesi 2023 kali ini dikhawatirkan lebih parah dari krisis 2007-2009 lalu.
Prediksi resesi itu dirilis oleh UN Conference on Trade and Development (UNCTAD). Semua kawasan di dunia akan terdampak, terutama negara-negara berkembang.
“UNCTAD memproyeksikan bahwa pertumbuhan ekonomi dunia akan melambat ke 2,5 persen di 2022 dan jatuh ke 2,2 persen di 2023. Global slowdown akan membuat GDP riil masih tetap di bawah trend pra-pandemi, merugikan dunia sebesar US$ 17 triliun – hampir 20 persen pendapatan dunia,” tulis laporan UNCTAD di situs resminya.
Baca Juga:Lima Tahapan Budidaya Ikan Nila untuk Memulai Bisnis MenguntungkanProduk UMKM Ikut Pameran di Bali, Batik Pekalongan Kian Diminati Wisatawan Mancanegara
Adapun negara-negara yang terdampak tajam adalah negara berkembang di Amerika Latin dan negara pendapatan lemah di Afrika.
Sementara berdasarkan data UNCTAD, Indonesia akan menjadi negara kedua di negara G20 yang paling rugi dalam hal kehilangan potensi ekonomi. Posisi Indonesia tepat berada sebelum Rusia yang sedang kena sanksi internasional.
Ketua UNCTAD Rebeca Grynspan berkata masih ada harapan bagi dunia. Namun, butuh kemauan politik untuk mewujudkan hal tersebut.
“Masih ada waktu untuk mundur dari ujung resesi,” ujar Rebeca Grynspan. “Ini adalah masalah pilihan kebijakan dan kemauan politik,” kata Grynspan.
Salah satu dari tiga solusi yang diminta UNCTAD adalah agar para bank sentral di negara maju untuk menaikkan tingkat suku bunga.
Lebih lanjut, para negara maju diminta agar menghindari kebijakan pengeluaran yang ketat (austerity). Para organisasi internasional turut diminta membuat arsitektur multilateral agar negara-negara berkembang bisa memiliki ruang fiskal yang lebih besar dan mendapat proses pengambilan keputusan yang lebih adil.(*)
Sumber : KRjogja. Com