RADARPEKALONGAN.ID – Hati-hati dengan lisanmu! Begitu kata orang bijak. Lidah memang tak bertulang, tetapi ia mampu meremukkan hati seseorang. Kita mungkin dapat dengan mudah melupakan setiap omongan yang pernah kita tujukan ke orang lain; teman kah, saudara, siswa, atau bahkan anak kita sendiri. Tetapi tidak dengan mereka yang mendengarkannya. Apalagi jika omongan atau kata-kata itu bersifat mendakwa, tuduhan, atau lebih parah lagi melabeli (labeling), mencap orang lain dengan konotasi yang negatif. APa yang kita anggap sebagai ucapan sepele, bisa saja berdampak dan membekas seumur hidup bagi yang mendengarnya.
Kisah nyata berikut mungkin bisa memberikan gambaran sedikit tentang betapa dahsyatnya dampak dari sebuah omongan yang melabeli, mencap negatif orang lain. Dan korbannya adalah penulis sendiri.
Ucapan Sepele
Sejak bangku Sekolah Dasar, bahkan sebelum itu, saya sangat antuasis dengan pelajaran matematika. Menyelesaiakan teka teki rumus dan angka sangatlah menikmatkan. Nilai ujian dan tentu saja buku raport pun membuktikannya. Masa-masa indah bergelut dengan matematika itu berlangsung hingga menamatkan jenjang SMP. Matematika menjadi pelajaran favorit.
Baca Juga:Alhamdulillah, Per November Realisasi Pajak di Batang Sudah Tembus Rp113,7 miliarKasihan, Gegara Talud Jebol, Warga 5 Desa di Kendal Harus Terdampak Polusi TPA
Tetapi semua itu berubah semenjak duduk di bangku kelas 1 (satu) SMA. Gairahku pada pelajaran eksakta ini berangsur pudar dan nyaris lenyap. Penyebabnya sepele. Sangat sepele. Di sebuah jam pelajaran matematika, sang guru melempar kuis soal. Selang beberapa menit, dia menanyakan kesanggupan siswa-siswi didiknya untuk menjawab soal tersebut. Sekilas, sang guru memang memberi kesempatan yang sama untuk setiap kepala di kelas itu. Saat tak ada satupun siswa yang berani unjuk jari, tanda mampu dan mau menyelesaikan soal, seketika Pak Guru langsung mengabsen kesanggupan satu persatu muridnya.
“Ayo coba, siapa yang berani maju ke depan, masa soal semudah ini kalian tak bisa?,” ucapnya sambil tersenyum simpul. Dia sejatinya memang sosok yang humble, pun mahir mengajarkan matematika dengan gaya santainya, sehingga murid-muridnya tak melulu tegang dengan pelajaran matematika. Tapi saat itu benar-benar tak satupun seisi kelas yang berani ngacung.
“Ayo, siapa yang bisa? Coba Dedy, Anita, Rudi, mana jawabannya? Masa gak bisa sih, coba Andi, Jeremy, Ajeng, Akhmad….Eh, kalau Akhmad sih bodoh, pasti nggak bisa lah,” tukasnya disambut pecah tawa seisi kelas.