RADARPEKALONGAN.ID – Tahun 2022 segera berakhir, namun sebagian masyarakat dunia, termasuk mungkin Indonesia mulai mencemaskan potensi resesi 2023. Menyikapi potensi resesi 2023 ini, pengusaha yang juga owner RB Group, Rizal Bawazier, justru meminta masyarakat tak panik dengan kondisi yang masih diliputi ketidakpastian.
Dalam beberapa bulan terakhir, ancaman resesi 2023 memang banyak diulas para ahli. Ekonomi dunia akan mengalami pelambatan seiring tingginya inflasi, menurunnya daya beli masyarakat, rupiah berpotensi melemah, biaya produksi meningkat, hingga berujung potensi meningkatnya PHK.
“Sebetulnya prediksi ini masih lanjutan dari dampak perang Rusia-Ukraina yang tak kunjung berakhir. Inggris dan Jerman saja kan juga sudah merasakan dampaknya. Nah, karena perang kemungkinan akan panjang inilah akhirnya para ahli memprediksi dampaknya juga semakin meluas terhadap ekonomi global. Karena asumsinya harga energi naik, pangan naik, inflasi bisa naik tajam,” terang Rizal Bawazier yang karib disapa RB ini.
Baca Juga:Jaga Ketahanan Ekonomi Daerah, Bupati Kendal Terus Dengungkan Penguatan UMKMFix, Pemindahan Ibu Kota Kecamatan Kaliwungu Selatan Segera Direalisasi
Namun demikian, apakah Indonesia akan ikut terdampak, lalu seberapa serius dampaknya, RB menyebut para ahli belum bisa memastikan. Terlebih, pertumbuhan ekonomi Indonesia juga cukup bagus, bahkan pada triwulan 3 tahun 2022 tercatat 5,72 persen. Selain itu, aktivitas ekspor-impor Indonesia juga dinilai tidak terlalu bergantung pada negara-negara yang berpotensi alami resesi.
“Jadi situasi 2023 yang masih belum menentu itu jangan disikapi dengan panik. Bahwa pemerintah harus mengantisipasi, itu tentu sudah menjadi kewajibannya. Masyarakat juga demikian. Tetapi mental kita tak boleh panik, kebijakan juga tidak boleh dibuat dengan panik. Menurut saya, ini kunci,” jelas anggota Dewan Pakar Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini.
RB menyebut, masa depan dunia yang diliputi ketidakpastian ini bukanlah hal baru. Para ahli menyebutnya sebagai era disrupsi, yang ditandai dengan fenomena VUCA, akronim dari Votality atau gejolak, Uncertainty (ketidakpastian), Cimplexity (kompleksitas), dan Ambiguity (ambigu). Semua terjadi karena dunia yang berubah dengan cepat.
“Karena perubahannya begitu cepat, maka sering terjadi anomali-anomali. Di dunia bisnis kami merasakan gejala ini. Maka adaptasinya juga harus cepat, bahkan harus punya strategi dan antisipasi yang baik. Dulu orang tidak pernah membayangkan jika proses pembelajaran dilakukan secara virtual, guru tak mungkin tergantikan. Tetapi pandemi kemarin, siswa belajar daring, orang rapat juga daring, seminar daring, bahkan lomba saja daring,” ungkapnya.