Berdasarkan referensi di atas dapat dipahami bahwa yang dimaksud i’anah alal ma’shiyat adalah perbuatan yang memang berperan penting dalam terjadinya suatu kemaksiatan dan tidak ada indikasi dilakukan untuk tujuan lain selain ke arah maksiat. Sedangkan persoalan menjaga gereja sama sekali tidak tergolong kualifikasi dari keduanya, sebab tujuan menjaga gereja tak lain merupakan upaya mengamankan stabilitas negara serta menjaga keharmonisan sosial yang hukumnya adalah Fardhu Kifayah (Tim Bahtsul Masail Himasal, Fikih Kebangsaan, halaman: 64).
Hukum ini dilandasi oleh ketetapan bahwa dalam konteks Indonesia yang merupakan negara yang diliputi oleh penduduk dari berbagai macam suku dan agama, perayaan hari natal adalah momentum yang sangat rawan dalam hal terjadinya ancaman gangguan keamanan, seperti terancamnya jiwa yang jelas-jelas dilindungi oleh negara. Sedangkan menjaga stabilitas keamanan negara termasuk dalam kategori fardlu kifayah. Terlebih ketika perbuatan ini dilakukan atas permintaan dari pemerintah (aparat penegak hukum), maka anjuran untuk melaksanakan hal ini akan menjadi semakin kuat.
Selain itu patut dipahami bahwa suatu tindakan yang sekilas tampak dari luar dianggap sebuah perbuatan yang membantu terjadinya maksiat, namun sebenarnya tindakan itu di sisi lain ditujukan untuk sebuah kemaslahatan berupa menghindari suatu mafsadah (kerusakan) maka tindakan di atas tidak dapat disebut sebagai perbuatan maksiat tapi merupakan perbuatan yang membantu terhindarnya sebuah kerusakan dan kekacauan.
Penjelasan demikian seperti yang dijelaskan dalam Qawaidul Ahkam:
وقد تجوز المعاونة على الإثم والعدوان والفسوق والعصيان لا من جهة كونه معصية، بل من جهة كونه وسيلة إلى مصلحة –إلى أن قال – وليس هذا على التحقيق معاونة على الإثم والعدوان والفسوق والعصيان وإنما هو إعانة على درء المفاسد فكانت المعاونة على الإثم والعدوان والفسوق والعصيان فيها تبعا لا مقصودا
Baca Juga:Nabi Muhammad SAW Pernah Menerima Hadiah Natal, Begini Ceritanya?Hukum Memasuki Gereja Menurut Pendapat Imam Madzhab
Artinya: Terkadang diperbolehkan membantu terjadinya dosa, permusuhan, kefasikan dan kemaksiatan bukan dari aspek status perbuatan tersebut yang merupakan maksiat tapi dari aspek perbuatan tersebut adalah perantara terciptanya suatu maslahat. Hal ini secara kenyataannya bukanlah wujud membantu terjadinya dosa, permusuhan, kefasikan dan kemaksiatan tapi merupakan upaya untuk terhindar dari suatu mafsadah (kerusakan). Maka bentuk membantu terjadinya dosa, permusuhan, kefasikan dan kemaksiatan adalah hanya sebatas platform (tab’an) bukan suatu tujuan. (Lihat: Syekh Izzuddin bin Abdissalam, Qawaidul Ahkam, juz I, halaman: 109-110).
Berdasarkan referensi serta sudut pandang di atas, mestinya secara arif kita dapat memahami bahwa menilai tindakan menjaga gereja hanya dari luarnya saja merupakan hal yang keliru, sebab jika kita melihat nilai serta tujuan yang terkandung di dalamnya justru semakin mantap bahwa menjaga gereja adalah bentuk pelaksanaan fardhu kifayah. Wallahu a’lam (dur/jatim.nu.or.id)