PEKALONGAN, Radarpekalongan – Pengamat Politik asal Pekalongan, Riyanto SH MH menyatakan antarasistem pemilu legislatif (pileg) yang menganut prinsip proporsional terbuka dan tertutup terdapat kelebihan dan madhorotny (kekurangannya,red).“Kalau sistem proporsional tertutup, maka pemilih tidak langsung memilih calon anggota legislatif, melainkan partai politik peserta pemilu. Surat suara sistem pemilu proporsional tertutup hanya memuat logo partai politik tanpa rincian nama caleg,” ucapnya.Sementara calon anggota legislatif ditentukan partai. Oleh partai, nama-nama caleg disusun berdasarkan nomor urut. Nantinya, calon terpilih ditentukan berdasarkan nomor urut. Jika partai mendapatkan dua kursi, maka calon terpilih adalah nomor urut 1 dan 2. “Sistem ini pernah diterapkan pada Pemilu 1955, Pemilu Orde Baru, dan Pemilu 1999,” bebernya.Buruknya dari sistem tersebut, sambungnya sistem ini membuat rakyat seperti milih kucing dalam karung. Sebab pemilu hanya dilaksanakan untuk memilih partai politik peserta Pemilu. Sementara rakyat yang oleh Konstitusi dinyatakan sebagai pemilik kedaulatan, tidak memilih langsung caleg yang akan mewakilinya. “Pastinya yang diuntungkan ialah pengurus partai politik, atau elit partai. Karena akan menduduki nomor urut jadi. Terjadilah oligarki partai politik,” bebernya.Andaikan sistem Pemilu 2024 menggunakan coblos partai, lanjut Riyanto, kerugian besar bagi rakyat Indonesia sebagai pemilih pada pemilu nanti. Sebab, akan merenggut kedaulatan rakyat. “Tertutup jelas itu akan merenggut kedaulatan rakyat, dan itu pelanggaran konstitusi. Apalagi di tengah situasi belum demokratisnya partai,” bebernya.Sedangkan kelebihan sistem pemilu tertutup, lanjut Riyanto, akan ada penyederhanaan surat suara, waktu penghitungan suara akan lebih cepat, dan ketaatan kader kepada partai politik meningkat.Bila dibandingkan dengan kelebihan sistem proporsional terbuka, maka pemilih bisa langsung memilih calon anggota legislatif (caleg) yang diusung oleh partai politik peserta pemilu. “Proporsional terbuka memungkinkan beragam latar belakang sosial seseorang untuk bisa terlibat dalam politik elektoral. Dengan sistem semacam ini pula, warga bisa turut mewarnai proses politik dalam tubuh partai,” terangnya.Sedangkan dampak buruk sistem proporsional terbuka membawa dampak liberalisasi politik.“Bagaimana liberalisasi politik mendorong partai-partai menjadi partai elektoral dan kemudian menciptakan dampak kapitalisasi politik, munculnya oligarki politik, kemudian persaingan bebas dengan segala cara,” terangnya.Terhadap realita itu, saran Riyanto, bukan sistem proporsional tertutup atau terbuka. Namun kualitas pemilu yang ditingkatkan. “Pengawas pemilu dan aparat penegak hukum harus berani melakukan penindakan kepada pelanggar potensi politik uang,” pungkasnya. (dur)