RADARPEKALONGAN.ID – Apa sih bedanya NU dan Muhammadiyah? Pertanyaan ini mungkin terasa kurang relevan saat ini, mengingat relasi kedua ormas Islam terbesar di Indonesia ini sudah lebih cair.
Dulu, hubungan NU dan Muhammadiyah cenderung tegang, sesekali digarami prasangka. Mungkin karena dulu orang hanya mengenal NU dan Muhammadiyah dalam hal jam’iyah atau ormas keagamaan, dengan sejarah panjangnya yang mendahului lahirnya Republik Indonesia. Meskipun perbedaannya hanya bersifat khilafiyah di dalam persoalan furu’iyah, bukan masalah pokok; dari qunut dan tidak qunut, tahli kematian, maulid, haul, dan lainnya, namun dulu narasi ini begitu efektif menciptakan ketegangan di akar rumput, di kampung-kampung.
Sekarang di era informasi yag serba terbuka, kita menjadi mafhum bahwa yang disebut organisasi Islam modern ternyata bukan hanya Muhammadiyah. Pun yang tradisional bukan hanya NU. Dan semakin tahulah kita, bahwa di luar NU dan Muhammadiyah, ada banyak ormas Islam lain dengan corak yang berbeda-beda pula.
Baca Juga:Puisi: Perjalanan Negeri MimpiTurun Tangan, Perumda Tirto Panguripan Salurkan Bantuan Sembako ke Korban Banjir
Nah, karena ketegangan NU dan Muhammadiyah yang masyhur sejak era 1930 an, banyak anekdot yang sering dibuat para tokoh NU maupun Muhammadiyah, semata untuk mencairkan suasana di akar rumput. Salah satu guyon paling monumental itu mungkin apa yang disampaikan pengasuh Pondok Pesantren Al-Hikam Malang, KH Hasyim Muzadi, Allahu yarham, di hadapan peserta Reuni Akbar Alumni dalam rangka Peringatan 90 Tahun PM Gontor tahun 2016.
Mantan Ketua Umum PBNU ini memang alumni Gontor. Ia pun bercerita suasana kehidupan sosial saat dirinya masih mondok di Gontor, masyarakatnya masih sederhana. Masyarakat hanya tahu, bahwa orang Islam itu kalau tidak NU ya Muhammadiyah.
“Sudah, nggak ada yang lain-lain lagi. Ini mau besanan saja takut, takut tidak mendapat barokah dari masing-masing pemimpinnya,” kata Kyai Hasyim.
Karena masyarakat hanya tahu NU dan Muhammadiyah, maka perbedaan di antara keduanya pun sering diributkan. Yang satu qunut yang satu tidak qunut, ribut. Padahal menurut Kyai Hasyim, dalam kitab rujukan orang NU juga mengenal ada madzhab atau pendapat yang qunut dan ada yang tidak. Hanya saja karena saat itu masing-masing masih terkooptasi golongan, akhirnya gampang meributkan hal-hal kecil.