Setiap hari, setiap waktu, setiap keadaan, selalu ngerasa kalau hal-hal buruk terjadi ke kamu, nggak peduli kenyataannya emang gitu atau sama sekali bertolak belakang. Itu jadi salah satu tanda kalau kamu punya victim mentality atau mentalitas korban.
Orang dengan mentalitas korban atau victim mentality selalu merasa seolah-olah dunia menentang mereka dan terus mendatangkan hal buruk. Kamu bisa jadi merasa seolah semua orang tidak berpihak kepadamu.
Kamu memilih untuk mengasihani diri, meskipun ada hal-hal yang dapat kamu lakukan untuk memperbaiki keadaan. Semua yang terjadi kamu pandang sebagai hal yang berada di luar kendalimu.
Baca Juga:5 Manfaat Mendengarkan Lagu Sedih: Jadi Lebih BahagiaKetahui 6 Ciri Toxic Relationship Supaya Terhindar dari Hubungan Tidak Sehat
Di beberapa titik, kamu mungkin memang mengalami kesulitan dan trauma. Akan tetapi, dibanding mencari strategi untuk mengatasinya, kamu justru mengembangkan sudut pandang negatif atau pola pikir korban.
Namun, kadang kamu juga mempertanyakan mengapa kamu terus berperilaku demikian. Victim mentality juga menjebakmu dalam labirin kebingungan.
Seperti Apa Victim Mentality Bekerja?
Bagaimana victim mentality dimaknai. (Sumber: freepik.com)
Kamu dapat dikatakan berada di situasi mentalitas korban adalah ketika kamu sering merasa seperti korban, bahkan ketika realitas membuktikan yang sebaliknya.
Orang dengan victim mentality memiliki tiga keyakinan utama, bahwa:
- Hal-hal buruk telah terjadi di masa lalu dan akan terus terjadi.
- Orang lain harus disalahkan atas kemalangan yang menimpa.
- Tidak ada gunanya mencoba melakukan perubahan karena itu tidak akan berhasil.
Bagi kamu yang memiliki mentalitas korban, sepertinya lebih mudah tenggelam dalam kenegatifan daripada mencoba menyelamatkan diri sendiri. Kamu bahkan mungkin memaksakan pola pikir ini kepada orang lain.
Bahkan ketika orang datang dan mencoba menawarkan solusi, kamu berasumsi dan membangun alasan bahwa solusi itu tidak akan berhasil. Kamu terus mengurung diri dalam kegelapan, menjadi “si paling terluka” dan enggan keluar dari sana.
Atas hal-hal kecil atau bahkan dalam konteks bercanda, kamu juga mudah terbawa perasaan. Perkataan buruk yang dimaksudkan untuk mencairkan suasana, misalnya, kamu anggap sebagai hal serius dan memikirkannya. Kamu terus bertanya, “Mengapa mereka mengatakan hal yang begitu buruk kepadaku?”