KAJEN,Radarpekalongan.id – Target anak kudu sekolah di Kabupaten Pekalongan pada tahun 2022 sebanyak 2.252 anak. Dari target itu baru 550 anak yang kembali bersekolah. Faktor ekonomi, kultur, dan lingkungan menjadi faktor dominan anak enggan bersekolah atau orang tuanya tidak ingin anaknya kembali masuk sekolah.
Kabid Dikdas Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Pekalongan Ipung Sunaryo, Kamis (26/1/2023), mengatakan, pada tahun 2022 terdapat target 2.252 anak kudu sekolah. Namun di tahun itu baru 550 anak kembali masuk sekolah.
Untuk itu, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Pekalongan menggelar rapat koordinasi dengan tim kudu sekolah kabupaten. Tim ini terdiri atas beberapa SKPD terkait dan organisasi kemasyarakatan.
Baca Juga:Mengerikan!, Gangguan Ain Bisa Sebabkan Penyakit, Kerusakan, Bahkan KematianBingung Hilangkan Bau Durian, Coba Tips Berikut Ini
“Kordinasi untuk mengevaluasi hasil kegiatan kemarin bagaimana tingkat keberhasilannya. Target anak kudu sekolah di tahun 2022 ada 2.252 anak, namun yang baru bisa dikembalikan ke sekolah baru 550 anak. Ini tantangannya banyak sekali,” kata dia.
Dikatakan, tim kudu sekolah sudah bergerak, baik dari tim kabupaten, tim kecamatan sampai tim di tingkat desa. Tim ini merupakan gabungan SKPD dan organisasi kemasyarakatan. Diakuinya, kendala di lapangan memang cukup kompleks untuk mengembalikan anak usia sekolah, atau anak usia maksimal 21 tahun.
Salah satu kendala di lapangan ialah masalah ekonomi dan kultur di masyarakat. “Ada beberapa anak atau orang tua menyampaikan untuk apa si pendidikan, apa bisa menaikkan taraf hidup ekonominya atau ndak. Kepedulian mereka tentang pendidikan memang masih kurang dan ini yang paling banyak alasannya. Jadi anak milih bekerja daripada sekolah. Ini yang jadikan kita harus lebih keras lagi bekerja untuk menyadarkan mereka,” katanya.
Meskipun, lanjut dia, ada lembaga seperti PKBM, Paket A, Paket B, SKB, yang bisa memfasilitasi anak sekolah sembari bekerja. “Tapi nyatanya memang mindset anak buat apa pendidikan. Yang penting golek duit. Ini yang menjadi masalah buat kami,” ujar dia.
Kendala lainnya ialah faktor lingkungan. Misalnya anak berada di lingkungan orang kerja, maka anak akan terpengaruh untuk memilih bekerja daripada sekolah. “Lingkungannya banyak anak nganggur ya sudah ndak usah mikir sekolah. Kehidupan hedonisme, sing penting seneng. Kita lihat banyak anak berada di jalan-jalan itu juga jadi pemikiran kami bagaimana mengembalikan mereka ke sekolah. Ini tantangan kedepan dan kami harus selalu bergerak,” tandasnya.