Akhir 1980 an, tentang penunggu pohon duwet yang gentayangan. Malam-malam di kampung kami mendadak sunyi senyap. Malam seperti lekas melarut, karena selepas isya warga kompak menutup pintu rumah, jendela-jendela.
Anak-anak dipaksa tidur lebih awal, atau minimal sudah masuk rumah. Untuk sementara waktu mereka libur dari serunya malam, tak ada petak umpet, benteng-bentengan, ninja-ninjaan, lompat karet, dan berbagai permainan tradisional yang mungkin tak lagi dikenali generasi masa kini. Ada apa sebetulnya dengan kampung kami?
Entah lah, dari mana cerita ini berawal. Tahu-tahu seluruh warga di kampung ini sudah membicarakannya, dari para sesepuh, orang tua, remaja, dan bahkan anak-anak kecil sepertiku. Dikatakan, setiap petang ada makhluk berjenis kelamin perempuan yang akan gentayangan di kampung kami, tentu saja di saat petang.
Baca Juga:[PUISI] Ruang Tunggu PasienBaru 66,19 Persen, Partisipasi Program KB PUS di Kendal Dinilai Masih Rendah
Penunggu Pohon Duwet
Soal siapa dan dari mana makhluk yang konon berparas cantik ini, warga nampaknya satu suara. Dia adalah jin penunggu pohon duwet di gumuk. Yang disebut gumuk ini bukanlah nama wilayah, melainkan sebuah petak kebun yang dikenal angker. Nah, di kebun milik Pak Pardi, salah seorang terkaya di kampung ini, hiduplah sebatang pohon duwet yang entah sudah berapa tahun usianya.
Yang jelas, beberapa warga yang keranjingan SDSB atau Sumbangan Dana Sosial Berhadiah (semacam togel tapi dilegalkan di era Orde Baru), biasa tidur atau bertapa di gumuk ini, sekadar untuk mencari wangsit berupa angka yang akan keluar untuk SDSB besok. Perkara wangsitnya benar atau salah, tepat atau tidak, orang-orang ini jelas tak peduli.
Ya begitulah kehidupan sebagian besar masyarakat kampung kami saat itu dengan cara pandangnya atas dunia (worldview) yang masih kental dengan metafisik. Mereka memandang alam sebagai memiliki kekuatan besar di luar batas kemampuan mereka (adikodrati), sehingga memilih menjaga alam dengan selaras dan relasi yang harmonis.
Mereka biasa meletakkan sesaji atau sesajen di pohon-pohon besar yang dianggap angker, orang tua hingga anak-anak akan merapalkan mantra setiap kali melewati jalan itu: “Mbah amit ya, putumu arep liwat aja diganggu.” Begitu kurang lebih anggah ungguhnya, cara mereka menjaga harmoni dengan alam. Sisi positifnya, orang tak serampangan menebang pohon, karena dipandang sakral dan punya kekuatan mistik. Hari ini, seorang pengusaha mungkin melihat hijaunya hutan sebagai cuan.