Kembali ke makhluk yang bergentayangan tadi, ini ada kaitannya dengan gumuk dan penunggu pohon duwet. Jadi ceritanya, Pak Pardi memutuskan untuk bersih-bersih kebonnya karena mau ditnami tanaman produktif. Dia pun menyewa jasa penebang pohon dari desa sebelah untuk menjalankan misi ini.
Singkat cerita, kebon pun dibersihkan, rumput liar dan segala tanaman dibabat habis, tak terkecuali si pohon duwet yang horor itu. Nah, warga meyakini penebangan duwet inilah yang jadi pangkal dari perseteruan demit dengan kampung kami. Terlebih, pohon duwet telah lama dipercaya sebagai tempat yang engker, tempat bersemayam jin.
Entah benar atau tidak, konon sang penebang pohon jatuh sakit sehari usai menebang duwet. Muncul pula cerita kalau si penebang pohon yang berjumlah 3 orang itu, semuanya diimpeni (mendapat mimpi berisi petunjuk tertentu), di mana mereka bertemu dengan penunggu pohon duwet yang marah lantaran tempat tinggalnya dirusak.
Baca Juga:[PUISI] Ruang Tunggu PasienBaru 66,19 Persen, Partisipasi Program KB PUS di Kendal Dinilai Masih Rendah
Setelahnya, narasi-narasi ini beredar liar ke publik, di- share lewat metode getok tular, dari mulut ke mulut. Tentang murkanya penunggu pohon duwet. Begitulah komunikasi bekerja dalam masyarakat tradisional, telinga dan mulut memegang peranan terpenting. Fenomena ini juga telah lama dijelaskan para ahli seperti Marshall McLuhan sampai Alvin Toffler.
Finally, semua warga pun tahu cerita ini, dan sejurus kemudian warga memberlakukan sistem karantina, isolasi kolektif khusus di malam hari.
Konon, makhluk penunggu pohon duwet itu berwujud perempuan cantik. Ia berpakaian putih, dan berkerudung (ala masyarakat 80 an, bukan jilbab). Tidak jelas siapa yang pernah melihatnya hingga muncul deskripsi cukup detail semacam itu. Yang pasti, selama itu pula malam-malam amat mencekam, terutama bagi anak-anak seusia kami yang belum genap tujuh tahun.
Saya sendiri tak ingat betul, berapa lama drama murkanya penunggu pohon duwet ini berlangsung. Tahu-tahu pengalaman mencekam ini beringsut dan menguap, tanpa aku mendapatkan kejelasan. Seingatku warga juga sempat membuat sesajen untuk ditaruh di rumah, maupun di gumuk.
Peristiwa lebih dari 30 tahun silam ini memang masih kuingat, mungkin karena menguji nyali. Dan entah kenapa, ingatan ini kembali melintas di sela masifnya isu penculikan anak.