Dan lagi, uang itu tidak hilang. Dana itu akan digelindingkan dari satu geothermal ke geothermal lainnya.
Dana Rp 500 miliar itu –mungkin sekarang lebih dari itu– bisa dipakai untuk mengebor 10 sumur. Di dua lokasi. Dari 10 sumur itu mungkin 4 yang ”kosong”.
Tapi jelaslah bahwa di lokasi itu ada panas bumi atau tidak. Jumlah panas buminya juga jelas.
Baca Juga:Fenomena “Durian Celeng” di Batang, Kasatpol PP : Kita Sedih dan MaluBahagia Sejahtera
Setelah potensinya nyata, barulah pemerintah melaksanakan tender. Yang ikut tender pun sudah bisa berhitung: akan menawar di harga berapa. Pemenang tender harus mengganti biaya pengeboran dari dana APBN tadi. Menggelinding. Uang pengembalian dipakai lagi untuk mengebor di lokasi lain.
Selama ini tender geothermal dilakukan seperti menebak gadis bercat hijau di ruang gelap. Sangat spekulatif. Tidak serius.
Maka semua tokoh listrik di ruang itu sepakat cara seperti itu. Tapi semua juga menyadari: tidak mudah mewujudkannya. Terutama dikaitkan dengan aturan penggunaan uang APBN. Pertanyaannya: siapa yang akan mengelola uang itu.
Jelaslah: hanya keputusan atau peraturan Presiden yang bisa menerobos kebuntuan ini.
Tidak hanya itu.
Lokasi yang berpotensi memiliki panas bumi, hampir semuanya sudah ditenderkan. Sudah ada pemenangnya. Sudah lama sekali. Maka harus ada juga terobosan lain: akan diapakan itu. Dibatalkan semua? Diultimatum? Yang kalau setahun ke depan tidak melaksanakan maka status sebagai pemenang tender dibatalkan?
Anda sudah tahu: pemerintah Presiden Jokowi sangat berani dalam hal menerobos kebuntuan di banyak bidang. Tapi masih ketinggalan di soal geothermal. (Dahlan Iskan)