Oleh : Dahlan Iskan
SAYA bangga sekali: berhasil menawar separo harga. Saya pun naik mobilnya dengan dada berkembang. Kali ini saya bisa berhemat 50 persen. Saya segera meninggalkan halaman terminal bus itu menuju hotel.
“Turun di sini,” ujarnya.
Saya tidak jadi bangga. Ternyata hotel itu dekat sekali. Rasanya saya belum sempat duduk. Jarak hotel ini hanya 1 km dari Terminal Bus Tabuk. Kalau jalan kaki hanya perlu 15 menit. Jelas: 50 riyal terlalu mahal.
Besok pagi saya jalan kaki saja. Saya harus kembali ke terminal itu lagi. Sambil olahraga. Maka pagi itu saya pun berjalan kaki dengan bangga: berhasil menghemat 50 riyal.
Baca Juga:Urus Surat Keterangan Tidak Pernah Sebagai Terpidana tak Harus ke Pengadilan, Bisa Dilakukan di MPP BatangSoroti Kasus ‘Durian Celeng’, Pengamat Universitas Al Azhar: Pemkab Batang Terkesan Lemah!
Di tengah jalan saya tidak jadi bangga. Saya ingat tas yang saya seret di trotoar paving ini. Roda tas kecil ini bisa jadi korban penyeretan: harga tas ini Rp 250.000. Kalau rusak, berarti pikiran berhemat saya salah.
Dari belokan dekat hotel, Terminal Bus Saptco di Tabuk itu sudah kelihatan. ”Tadi malam kok tidak kelihatan”.
Malam itu, tengah malam, saya tiba di Terminal Tabuk dari Madinah. Naik bus umum murah. Hanya 180 riyal untuk 12 jam perjalanan. Saya merasa berhasil berhemat 800 riyal. Luar biasa pujian untuk diri sendiri.
Hotel di Tabuk pun saya pilih yang pahe: 200 riyal. Daripada di hotel bintang 4 yang 600 riyal. Toh hanya untuk tidur 3 jam. Saya kembali bangga. Berhasil berhemat lagi 400 riyal.
Kembali ke terminal pagi itu pun dengan tujuan yang sama. Ingin naik bus umum lagi ke tujuan akhir: Sharma. Yakni kota wisata di pantai Laut Merah.
Saya tidak akan ke kota pantai itu. Saya tidak sedang berwisata. Saya ingin ke satu proyek sebelum kota Sharma. Proyek Neom. Yakni kota baru impian putra mahkota Mohamad bin Salman.
“Tidak ada bus jurusan Sharma,” ujar petugas loket karcis di terminal kecil itu. Apalagi Neom.
Baca Juga:Mantan Elite PDIP Jateng Umbar Dukungan ke Anies BaswedanBarang Titipan
Saya kecewa. Berarti saya harus carter mobil. Pasti mahal. Saya menyesal: pagi ini gagal berhemat kali kedua.
Memang banyak mobil berderet di depan terminal itu. Saya tidak mau langsung ke deretan itu. Takut jadi rebutan. Seperti malam sebelumnya. Diperebutkan seperti itu saya tidak bisa berpikir jernih. Akhirnya sudah berhasil menawar separo pun masih begitu mahal.