Sebab lain karena tak ada yang beli. Kini yang masih laku cuma buku, tabloid komik sama majalah. Meski buku bekas, ada saja yang beli karena butuh. Terutama buku-buku perkuliahan yang selalu dicari mahasiswa akhir studi.
Poster-poster pengenalan huruf abjad Arab dan latin juga dijual. Untung seribu dua ribu tak masalah yang terpenting menambah pemasukan dan keberlanjutan bisnis legendaris Toko Buku Karuhun Pekalongan.
Keberlanjutan Toko Buku Karuhun
Di usia yang sudah tak muda lagi yaitu 65 tahun, Indri masih menjalani bisnis Toko Buku Karuhun Pekalongan. Bersama putrinya yang bertugas sebagai kasir.
Baca Juga:4 Tips Jitu Menguasai Teknik Canting Hias ala Pak Mahmud5 Cara Membuat Canting Tulis, Yuk Simak Ulasannya
Menyadari usia Indri tak muda lagi, sempat oleh anak-anaknya menyarankan agar menutup Toko Buku Karuhun Pekalongan itu. Entah toko pinggir jalan itu dikontrakkan atau bahkan dijual saja.
Indri yang sudah berjalan dibantu dengan teken, rasanya tidak tega kalau harus terus mengurus toko. Tapi beliau tak mau duduk berdiam diri seperti lansia pada umumnya. Ia masih ingin mengurus tokonya.
Toko buku Karuhun Pekalongan berada di ujung senja. Nampaknya tak seberuntung Yogyakarta banyak ditemukan toko buku dimana-mana. Wajar saja, kota ini tidak dirancang sebagai kota pelajar layaknya Yogyakarta. Ini kota batik.
Tak penting mengurus buku karena ngga menguntungkan. Jadi kalau kapanpun Toko Buku Karuhun Pekalongan tak ada lagi, tak jadi masalah.
Padahal jika direnungkan kembali, Toko Buku Karuhun Pekalongan memiliki historis dan kenangannya tersendiri. Sudah terkenal di seantero eks Karesidenan Pekalongan.
“Bagaimana kalau ada yang pengen kerja sama mengembangkan toko buku karuhun Pekalongan Bu?” tanya saya.
“Ya boleh saja mas. Monggo saja kalau ada yang mau kerja sama. Yo nggak mungkin juga yo mas anak-anak wes podo mentas dan nggak mau meneruskan. Tinggal satu tok yang mau bantu-bantu di sini,” tutur Indri.
Baca Juga:4 Jenis Kerajinan Canting yang Diproduksi di Pekalongan, Kamu Wajib Tahu!Wow! Canting Hias Pak Mahmud Tembus Pasar Internasional, Harganya Bisa Sampai Rp 300 Juta
Obrolan siang itu berakhir dengan membeli satu buku berjudul Reporter and The City—penulisnya Noni Wibisono. Dan, tentu saja belum selesai dibaca bukunya. Ada juga majalah Tempo tertumpuk di bawah dengan terbitan tahun 2017. (*)