Ini adalah nilai filosofi yang sangat dalam bagi rakyat Indonesia saat itu. Hebatnya, Douwes Dekker adalah sastrawan yang menulis ide-ide kritis dan memberontaknya ke dalam novel percintaan.
Sehingga secara neuro lingistic akan bisa diterima oleh pembaca karena menyampaikannya dengan cara halus. Kisah percintaan tapi di dalamnya ada nilai-nilai pemberontakan dan nilai kemanusiaan yang diangkat tinggi-tinggi.
Kita bisa belajar dari situ. Artinya kalau kita berjalan sudah keluar dari rel yang sudah ditetapkan, mestinya memiliki self control dan akan kembali ke dalam rel tersebut. Jika tidak maka bisa saja kita dikontrol oleh orang lain dengan berbagai macam cara.
Baca Juga:Jateng Jadi Provinsi dengan Kinerja Terbaik Tingkat Nasional 2023, Ganjar: Ini Kinerja Semua Pihak6 Fitur Keselamatan Suzuki Baleno 2023, Lumayan Lengkap untuk Mobil Harga Rp 277 Juta-an
Dari dalam pun orang bisa mengontrol untuk kebaikan apabila dari sisi nilai kemanusiaan sudah sangat jauh melenceng.
Museum Multatuli dapat dikunjungi umu pada tahun 2018. (foto Museum Multatuli)
Koleksi di dalam Museum pun sudah sangat bagus, sudah direnovasi sehingga anak-anak sekarang bisa belajar banyak dari museum ini. Siapa tahu nanti ada putra daerah yang dapat membuat hologram di museum ini.
Dengan hologram tersebut, secara digital setiap orang dapat berintraksi untuk riset. Ganjar pun melihat banyak sekali buku-buku dalam bahasa aslinya, Belanda yang masih original.
Kelak Ganjar berharap akan ada versi terjemahan dari buku-buku Douwes Dekker tersebut. Sehingga orang-orang yang datang ke museum bisa memperoleh visual yang bagus sekaligus oleh-oleh. Dan oleh-oleh yang terbaik adalah buku.
Buku versi terjemahan tersebut akan membawa pembacanya, situasi pada saat peristiwa itu terjadi seperti apa. Mengapa Douwes Dekker ini melawan, padahal dia ditugaskan oleh negaranya Belanda dalam konteks kolonialisasi tapi tiba-tiba memberontak pada rajanya.
Di sisi lain, Bung Karno pada tahun 1957 pernah ke Banten dan dia berpidato agar Indonesia yang beragam ini tetap harus satu, Bhinneka Tunggal Ika. Ganjar tidak dapat membayangkan bagaimana suasana ketika Bung Karno berpidato, pasti menggelegar, terbakar dan sadar akan pentingnya persatuan.
Bung Karno berjalan ke sudut-sudut negara Indonesia sesudah Indonesia merdeka yang banyak orang tidak dapat menjangkau. Tapi kalau Baduy dalam, Ganjar mengaku sudah pernah masuk ke dalamnya. (sep)