Ia pun diajak ke sana. Kebetulan pamannya di pondok Peterongan, sebelah timur Jombang.
“Sama-sama di pondok saya akan pilih di Maskumambang saja. Sama saja. Lebih dekat rumah,” katanya mengingat waktu kecil.
Lalu Panji diajak pula melihat pondok di Kaliwungu, sebelah barat Semarang. Ada paman yang lain di pondok Kaliwungu.
Baca Juga:Berusia 56 Tahun, Tiga Perangkat Desa di Batang Dapat Uang Puluhan Juta dari Program JHTRekor Laba
Akhirnya Panji memilih sekolah di Pondok Modern Gontor, Ponorogo. Yakni pondok yang siswanya harus bisa bahasa Arab dan bahasa Inggris –yang masih langka di zaman itu.
Santri pondok Gontor juga campur antara yang NU dan Muhammadiyah.
Dari Gontor, Panji meneruskan kuliah di IAIN Syarief Hidayatullah, Ciputat, Jakarta. Ia mengambil jurusan sulit: Adab. Yakni sastra Arab dan Islam. IAIN Ciputat saat itu diakui yang paling maju kajian Islamnya. Tokoh-tokoh pemikir Islam lahir dari sana. Termasuk pembaharu pemikiran Islam, Dr Nurcholish Madjid.
Di Ciputat Panji menjadi aktivis mahasiswa. Ia masuk Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Ia pernah menjadi pengurus cabang Ciputat di saat Nurcholish Madjid menjadi ketua umum PB HMI.
“Saya ikut menyuarakan agar Cak Nur dipilih kembali untuk periode kedua,” ujar Panji. Yakni ketika HMI mengadakan muktamar di Malang.
Setamat IAIN, Panji menjadi pengajar di Matla’ul Anwar. Yakni pesantren yang dekat dengan Golkar.
Zaman itu ada sayap pendidikan Islam di Golkar. Namanya GUPPI –Gabungan Usaha Pembaharuan Pendidikan Islam.
Banyak sekali pesantren yang masuk GUPPI, termasuk jaringan pesantren keluarga saya di Magetan. Saya masih kelas 3 Aliyah saat itu. Sering diajak apel pemenangan Golkar.
Baca Juga:Korban Sodomi Guru Ngaji di Wonotunggal Batang Bertambah Menjadi 13 OrangSiang Bolong, Pria Paruh Baya Tewas di Lokalisasi Bong Cino
Pesantren Peterongan dengan KH Musta’in Romli juga masuk GUPPI. Demikian juga pesantrennya KH Thohir Wijaya Blitar.
Banyak sekali bantuan Golkar yang diberikan ke pesantren-pesantren grup GUPPI. Guru-gurunya diangkat jadi pegawai negeri. Madrasahnya dibangun. Fasilitasnya dilengkapi.
Itu menimbulkan kecurigaan dan kecemburuan politik yang luar biasa. Madrasah yang ”masuk Golkar” dianggap kurang berjuang untuk Islam.
Kecurigaan itu sangat tinggi karena mayoritas pondok pesantren kala itu memihak ke PPP.
Kecurigaan kepada Al-Zaytun lebih-lebih lagi. Pesantren ini selalu dikaitkan dengan Negara Islam Indonesia (NII)-nya Kartosuwiryo. Yakni pemberontakan Islam di Jawa Barat tahun 1950-an.