Ilustrasi pohon angker. (radarjabar.disway.id)
Ritual ini tentu asing atau bahkan tak dikenal anak-anak generasi saat ini yang interaksinya dengan alam semakin minim. Maka di luar aspek ritualnya, tradisi meminta izin saat melewati tempat sepi atau pohon besar sesungguhnya menggambarkan relasi manusia dengan alam di masa itu yang masih relatif harmonis.
Dalam sudut pandang sosiologi, praktik tradisi semacam ini dipahami lahir dari cara pandang dunia atau worldview yang memandang dan memaknai alam sebagai sesuatu yang berdaya magis, memiliki kekuatan adikodrati, sesuatu yang mungkin beririsan dengan cara pandang para penganut animisme dan dinamisme.
Dulu, tradisi ini juga dijalankan hampir semua orang, tak peduli apakah ia bercorak keagamaan santri atau abangan. Dari ustadz sampai preman kampung yang gaweannya main gaplek tiap malam. Artinya, ini menjadi tradisi yang lazim dan masif dilakukan di masyarakat sebelum perubahan zaman menempatkannya sebagai sesuatu yang unik, dan pada akhirnya bernasib menjadi tradisi unik yang hilang dengan sendirinya.
Baca Juga:Program BKK Dusun Sudah Sentuh 652 Dusun, Ini Harapan Bupati DicoManjur TMMD Sengkuyung Tahap I 2023, Desa Terisolir di Kendal Ini Dibangunkan Jalan Beton
Kalau tradisi unik yang hilang itu ditempatkan dalam kondisi saat ini, mungkin sudah langsung dikotak dan difatwai klenik, mistik, dan bahkan syirik. Tetapi hal ini justru menunjukkan bagaimana cara beragama kita pun disadari atau tidak ternyata mengalami perubahan atau pergeseran.
2. Ritual Membuat Sesajen
Contoh kasus berikutnya dari tradisi unik yang hilang itu adalah tradisi membuat sesajen. Tetapi ritual ini biasanya dilakukan orang-orang tua, tidak semua umur apalagi anak-anak. Adapun konteks dari ritual sesajen atau sesaji ini biasanya relate dengan musibah, misal ada anggota keluarga yang sakit tak kunjung sembuh, khususnya anak-anak.
Ilustrasi praktik sesajen. (radarcirebon.disway.id)
Oiya, sesajen itu juga semacam “makanan persembahan”, biasanya berisi makanan yang rowah (komplit), ada telur rebus, kadang ayam, jajanan, yang diletakkan dalam layah (piring berbahan tembikar), dan diletakkan di sudut-sudut rumah, kamar mandi, atau di bawah pohon besar.
Untuk standar hidup masyarakat saat itu, sesajen ini terbilang cukup mewah. Karena sebagian besar anak-anak kampung kami saat itu saja baru bisa menikmati telur rebus dan lauk agak mewah saat ada acara kenduri atau selamatan, walimahan. Sementara bapak pergi selamatan, ibu dan anak-anaknya memilih tak sarapan karena menunggu nasi berkat yang dibawa pulang bapak dari walimahan.