Saat pasian hendak pulang, sang tabib biasanya akan memberikan obat berupa air putih yang telah dirapali doa-doa. Kalau ia paham pengobatan tradisional, maka pasien juga dibawakan tambahan ramuan herbal.
Lagi-lagi tradisi unik yang hilang ini pun dulu tidak hanya dipraktikkan orang-orang biasa atau awam agama. Sebab mereka yang menyandang status ustadz pun tidak jarang memilih berobat ke ahli spiritual dibanding ke fasilitas layanan kesehatan atau bidan dan dokter.
Biasanya juga, kalau anak masih tetap sakit dan rewel setiap malam, maka sang tabib akan merekomendasikan realokasi ari-ari si anak, dipindah dari tempat awalnya. Bahkan sepertinya tradisi ini masih dilakukan sebagian orang tua di masa kini.
Baca Juga:Program BKK Dusun Sudah Sentuh 652 Dusun, Ini Harapan Bupati DicoManjur TMMD Sengkuyung Tahap I 2023, Desa Terisolir di Kendal Ini Dibangunkan Jalan Beton
Itulah tiga tradisi unik yang hilang. Dulu amat populer di masyarakat, tetapi seiring waktu, berbagai tradisi tersebut perlahan lenyap dari peradaran.
Coba saja, saat ini nyaris tidak ada warga yang melakukan ritual permisi ke penunggu saat melewati tempat sepi. Tidak ada sesajen, atau bubur merah putih yang diletakkan di sudut-sudut rumah. Anak-anak zilenial mungkin tak mengenal tradisi unik yang hilang ini.
Saat anak-anak sakit, orang tua juga tidak lagi pergi ke orang pintar, mereka memilih ke dokter atau rumah sakit, atau minimal ke bidan dan Puskesmas. Bahkan, sebagian mungkin akan menganggap ritual-ritual masa lalu tersebut sebagai bentuk kemusyrikan. Artinya, sadar atau tidak, ada perubahan di sekitar cara kita beragama, berubah pula cara pandang kita terhadap alam dan lainnya.
Bagaimana, apakah kalian juga memiliki pengalaman dengan tradisi unik yang hilang itu? Atau adakah tradisi lain yang serupa, dan kini raib entah ke mana? (*)