Bagi guru, AI memiliki potensi besar sebagai alat untuk menganalisis data. Dengan perkembangan kecerdasan buatan yang terus berkembang, para guru dapat menggunakan hasil analisis tersebut untuk memahami minat dan bakat para siswa, serta merancang model pembelajaran yang lebih menarik dan menyenangkan. “Kehadiran AI akan mendorong banyak inovasi di bidang pendidikan,” tuturnya.
Dalam acara yang sama, Dr. Noer Hassan Wirajuda, Dekan Sekolah Hukum dan Studi Internasional Prasmul, menyatakan bahwa para pendidik harus peka terhadap tren dalam proses pembelajaran.
Baru-baru ini, Pusat Studi Kebangsaan Indonesia Universitas Prasetiya Mulya melakukan survei terhadap 1.600 mahasiswa dari seluruh Indonesia untuk mengetahui cara belajar mereka dan bagaimana mereka mendapatkan pengetahuan.
Baca Juga:Momen Prabowo Subianto Sowan Habib Luthfi selama Hampir 2 Jam dan Beri KerisPesan Tegas Menhan Prabowo Subianto untuk TNI Polri: Harus Kompak dan Jangan Mau Diprovokasi!
“Dari survei tersebut, terungkap bahwa para siswa belajar melalui internet dan media sosial. Sebanyak 26 persen dari mereka belajar melalui kelas, dan 16 persen sisanya belajar melalui buku,” ungkap Hassan, yang juga menjabat sebagai Kepala Pusat Studi Kebangsaan Prasmul.
Hasil survei ini menunjukkan tren baru yang dapat menjadi tantangan sekaligus peluang bagi pendidik. Para siswa menginginkan proses pembelajaran yang lebih interaktif.
Menurut Hassan, para pendidik, baik guru maupun dosen, harus siap menghadapi perubahan tersebut dan memahami keinginan para siswa. “Guru perlu mengembangkan metode baru dalam pembelajaran yang lebih interaktif, tanpa mengurangi kualitas materi yang disampaikan.”
Contohnya, para pendidik dapat memanfaatkan media sosial, kecerdasan buatan, dan teknologi metamesta (metaverse) untuk menyajikan materi pendidikan secara multimedia, sehingga proses belajar siswa menjadi lebih menarik.
Perkuat kapasitas dan kemampuan guru
Sementara itu, Ketua Yayasan Guru Belajar, Bukik Setiawan, menekankan pentingnya penguatan pengembangan keahlian dan kemampuan guru. Saat ini, kapasitas program pengembangan guru terbatas, sehingga berjalan lambat.
“Setiap tahun, pemerintah hanya menyediakan ruang pengembangan kapasitas untuk 300 ribu guru, yang tidak sebanding dengan kebutuhannya. Oleh karena itu, banyak pendidik yang merasa kesulitan mengikuti perubahan.”
Bukik menyatakan bahwa di Indonesia, revisi kurikulum berjalan lambat. “Idealnya, revisi atau penyesuaian kurikulum dilakukan setiap tahun berdasarkan hasil evaluasi, terutama dengan pesatnya perkembangan teknologi saat ini,” katanya.