Masalahnya, studi gender maupun pandangan umum kaum feminis juga melihar relasi laki-laki dan perempuan dalam konteks kekuasaan. Ibaratnya, kalau dibanding-bandingke sumberdaya kuasanya, perempuan bisa kalah telak. Dari sumberdaya fisik (Lelaki tubuhnya lebih kuat), ekonomi (sumber nafkah dan ekonomi rumah tangga), sampai sumberdaya sosial (pandangan budaya menuntut perempuan harus nurut, tidak boleh membangkang), dan sebagainya. Sebagian feminis bahkan lebih ekstrem, bahwa relasi laki-laki dan perempuan yang timpang bisa dilihat dari urusan seksual di atas ranjang.
Jadi, kalau perempuan terlalu pemaaf, gambaran di atas cukup relate untuk menjelaskan. Tapi untuk memperjelas jawaban dari perempuan terlalu pemaaf dalam konteks tingginya potensi KDRT, sehingga mereka memilih memaafkan dan bertahan, tiga kondisi ini mungkin bisa melengkapi penjelasannya.
1. Manajemen Rasa Takut
Dalam banyak kasus KDRT, sang istri/perempuan yang menjadi korban tentu saja mengalami perasaan takut. Apalagi kalau ini baru pertama kali dialami, takut dan tak percaya campur aduk sedemikian rupa. “Aku seperti nggak bisa percaya, bahwa suamiku bisa sekasar itu.”
Baca Juga:[PUISI] Tentang Pandangan32 Biksu Masuk Kendal dan Menginap di Gereja, Terkesima atas Sambutan yang Luar Biasa
Tetapi meski mungkin kulit lebam membekas di pipinya, rasa sakit dan takut mengendap di hatinya, banyak perempuan memilih bertahan alih-alih berpisah. Nah, bisa jadi kondisi ini terkait dengan manajemen rasa takut. Bahwa pada dasarnya perempuan yang menjadi korban juga berhitung tentang risiko ketakutannya.
Perempuan terlalu pemaaf, meski KDRT membuatnya menderita. (freepik)
Ketika korban tidak melawan atau minimal lari dari kekerasan yang dialaminya, itu artinya ada risiko ketakutan yang lebih besar seandainya dia memutuskan berpisah dari sang suami atau sebut saja cerai.
Loh, hal apa yang lebih ditakuti istri korban KDRT daripada kekerasan yang dialaminya dari suami? Wah, banyak jenisnya. Misalnya saja pertimbangan atas nasib anak-anaknya. Dia khawatir anak-anaknya akan menanggung penderitaan jika memilih berpisah dari suaminya. Entah penderitaan psikis karena fakta keluarganya kandas, broken home, atau kekhawatiran si ibu bahwa ia tak mampu menafkahi anak-anaknya dengan baik seandainya memutuskan berpisah dari suaminya.
Bisa juga karena dorongan intuitif seorang ibu, bahwa dia cemas ketika bercerai, ia akan kehilangan hak asuh atas anak-anak yang dicintainya. Maka jangan heran kalau kita sering mendengar ungkapan yang terdengar klise, tetapi sebetulnya menggambarkan dilema batin yang tak tertanggungkan bagi seorang ibu. “Kalau saja tak memikirkan anak-anakku, mungkin sudah lama aku menggugat cerai ke dia.”