Itulah gambaran pertama kenapa perempuan terlalu pemaaf dalam kasus KDRT yang dialaminya, sehingga memilih bertahan. Ya seperti kasus anak dari keluarga miskin jadi korban kekerasan oleh anak pejabat. Dia memilih berdamai karena mungkin ada ketakutan-ketakutan lain yang ia hindari, sehingga memilih tak melanjutkan kasusnya ke ranah hukum.
2. Kekerasan yang Meruntuhkan Mental Perempuan
Pernahkah membayangkan kondisi mental anak-anak yang jadi korban perundungan atau bulying berulang dari teman-temannya? Ya, bully yang terkesan sepele itu bisa membunuh mentalnya. Seorang guru SMA pernah bercerita, ada anak didiknya yang dua kali melakukan percobaan bunuh diri, karena sering di-bully teman-temannya. Salah satunya diejek karena rambutnya keriting.
Dalam kasus KDRT, kekerasan yang dialami secara berulang pun berpotensi meruntuhkan mental korban. Ia menjadi insecure, ambruk, menyimpulkan lemah dan tak berdaya. Maka jangan berharap lebih bahwa ia akan melaporkan kekerasan yang dialaminya itu ke polisi, karena sekadar mengadu ke orang tua saja mungkin dia tak punya keberanian yang cukup.
Perempuan terlalu pemaaf. Kekerasan membuat mentalnya down. (FREEPIK)
Baca Juga:[PUISI] Tentang Pandangan32 Biksu Masuk Kendal dan Menginap di Gereja, Terkesima atas Sambutan yang Luar Biasa
Dia jatuh dalam overthinking akut, bahkan mungkin paranoid. Dia cemas, jika suaminya tahu dia mengadu ke teman dekat atau orang tuanya, maka ia harus menanggung kekerasan yang lebih berat.
Atau bisa juga dia overthinking, apakah ketika orang tuanya tahu dan mencoba mengintervensi masalah KDRT ini, suaminya akan serta merta menghentikan kebiasaannya main tangan. Hatinya diliputi berbagai ketakutan, nanti ini lah, nanti begitu lah, dan sebagainya, yang pada akhirnya membuat kepercayaan dirinya tercerabut. Wow, seram kan gaes dampak dari kekerasan?
So, dalam kasus semacam ini ketika kita menganggap perempuan terlalu pemaaf, harus dipahami secara empatik bahwa bisa jadi perempuan ini karena mentalnya yang terlanjur down, sehingga ia merasa tak memiliki opsi lain selain menerima kenyataan.
3. Perempuan yang Senang Digombali
Ini sih maaf ya, bukan maksud bias. Ketika kita menuding perempuan terlalu maaf dalam menghadapi KDRT yang dialaminya, ini juga tak bisa dilepaskan dari kecenderungan perempuan yang suka dengan ekspresi verbal dari pasangannya. Dalam bahasa yang lebih blokosuto, inilah kecenderungan perempuan yang lebih gemar digombali laki-laki. Loh kok?