Yang pasti, manajemen rasa takut, ngedropnya mental hingga hati perempuan yang mudah dinyamankan dengan kata-kata, semuanya bisa saja ikut andil melanggengkan rantai kekerasan dalam rumah tangga. Ini sekaligus menggambarkan kasus KDRT yang bak benang kusut, tidak sesederhana kesimpulan otak kita saat menjumpai tetangga atau kawan jadi korban KDRT. So, don’t over expectation!
Jangan berharap korban KDRT yang dihantui ketakutan, yang mentalnya sedang ambruk itu akan serta mudah diajak melaporkan kasus yang menimpanya ke kepolisian misalnya. Dia mau percaya kamu dan menumpahkan segala kemarahan, ketakutan, dan ketidakpercayaannya atas apa yang dialaminya, wow itu sudah berkah, selangkah lebih maju.
Dulu, saat beberapa teman seangkatan dan adik angkatan kuliah menjadi korban kekerasan seksual, dia mau menceritakan masalah yang dianggapnya aib ini, saya sudah bersyukur. Karena terhadap dosen yang hendak membantu mengadvokasinya pun tidak semua korban mau buka mulut.
Baca Juga:[PUISI] Tentang Pandangan32 Biksu Masuk Kendal dan Menginap di Gereja, Terkesima atas Sambutan yang Luar Biasa
Ya, dalam banyak kasus KDRT, faktanya para korban ini tidak bisa obral cerita sembarangan, bahkan meski selama ini dia kita kenal cerewet dan ember sekalipun. So, pastikan kita layak untuk mendapatkan kepercayaannya, menjadi tong sampah keluh kesahnya.
Sebab trust ini adalah tembok pertama yang harus ditembus untuk bisa masuk ke permasalahan KDRT dan mengupayakan penangannya. Ketika mereka sudah merasa nyaman untuk berbagi cerita terkelamnya dengan kamu, saat itulah jalan untuk mengadvokasinya mulai terbuka.
Jadi, setelah membaca ulasan tersebut di atas, bagaimana kesimpulanmu. Benarkah perempuan terlalu pemaaf? (*)