Menko Polhukam Prof Dr Mahfud MD menyebut polisi harus mengusut itu. Putusan MK yang belum diucapkan itu tergolong rahasia negara. Berarti ada kebocoran rahasia negara. Hukumannya berat.
Denny pun kemarin mengirim penjelasan klarifikasi. Katanya: di sini tidak ada soal kebocoran rahasia negara. Informasi itu, kata Denny, tidak ia peroleh dari orang dalam MK. Tapi dari sumber lain yang ia percaya kredibilitasnya.
Denny juga mengatakan dirinya tidak pernah menggunakan istilah dari ”sumber A1”. Istilah itu biasanya datang kalau informasinya dari intelijen.
Baca Juga:Miris! Usulan Apill hingga PJU Tak Digubris KITBMengerikan! Kecelakaan Hebat Terjadi di KITB, Begini Penjelasan Kasatlantas
“Saya ini akademisi hukum dan praktisi hukum. Dalam keterangan saya yang lalu, saya sudah perhitungkan agar tidak ada kalimat yang bisa dijerat hukum,” ujarnya.
Misalnya, ia tidak pernah mengatakan ”MK sudah memutuskan” melainkan ”akan memutuskan”. Demikian juga ia tidak pernah mengatakan ”dapat bocoran” melainkan ”dapat informasi”.
Dan ia juga klarifikasi: informasi itu bukan dari MK, bukan dari hakim MK atau staf MK.
Tentu banyak yang sebel pada Denny. Tapi banyak juga yang senang. Siapa tahu justru dengan diungkapkan seperti itu MK memutuskan menolak gugatan penggugat. Konsekuensinya, berarti informasi yang diterima Denny tidak bisa dipercaya.
Atau putusan MK sama dengan informasi yang diterima Denny. Berarti informasi itu benar.
Delapan fraksi di DPR kemarin seperti senang dengan langkah Denny ”membocorkan” rencana putusan MK itu. Dengan demikian mereka bisa antisipasi. Yakni dengan cara membuat pernyataan bersama: ingin tetap sistem terbuka. Mereka menolak kalau ada rencana sistem tertutup.
Hanya fraksi PDI-Perjuangan yang tidak ikut di pernyataan bersama itu.
PDI-Perjuangan memang konsisten menginginkan agar rakyat di pemilu nanti cukup mencoblos partai. Tidak lagi mencoblos nama calon.
Baca Juga:Guo BorgolPekerja KITB Tewas Bunuh Diri di Dalam Kamar Kontrakan
Dengan demikian partailah yang menentukan siapa yang duduk di DPR. Bukan siapa yang mendapat suara terbanyak. Kalau di satu dapil partai dapat tiga kursi, maka calon nomor 1 sampai 3 yang terpilih.
Sedang dengan sistem terbuka selama ini partai tidak bisa menentukan kualitas anggota DPR. Siapa pun yang dapat suara terbanyak ia/dia yang jadi. Biar pun secara kualitas kalah dengan yang lain.