1. Nilai Tauhid (Monotheisme)
Warisan Nabi Ibrahim yang monumental ini menjadi yang terpenting, karena meng- underline esensi dari semua risalah yang dibawa nabi/rasul ke muka bumi, yakni nilai atau prinsip tauhid atau monotheisme. Sebuah prinsip pokok yang meyakini konsep tentang ke-Esa-an Tuhan. Bukankah pesan semua nabi dan rasul berpangkal dari tauhid?
Menjadi istimewa, karena nilai dan risalah ketauhidan ala Ibrahim As ini tidak digambarkan sebagai ajaran yang jatuh dari langit atau paket jadi. Sebab proses menemukan Tuhan yang Esa ala Ibrahim ini dilakukan secara dinamis dan dialektis, melalui sebuah upaya mujahadah melalui observasi dan penelitian yang ilmiah dari Nabi Ibrahim.
Ustadz Nizar mengupas warisan Nabi Ibrahim yang monumental, yakni tauhid, saat salat Id di Masjid Ar-Raudhoh Klego. (dok. istimewa)
Baca Juga:DPRD Batang Minta Penyerapan APBD 2023 Dipercepat, Demi Intervensi Langsung Pergerakan Eokonomi200 Guru Ikut Pelatihan Menulis Ilmiah, Sekda Minta Jangan Hanya Kejar Credit Point, Tetap Tingkatkan Kompetensi Profesi
Dalam Al-Qur’an, proses pencarian Ibrahim atas Tuhan yang Esa ini disimbolkan dalam dua aksi besar yang dilakukannya. Sejak remaja Ibrahim dikenal sebagai sosok yang kritis dan skeptis. Ia gelisah dengan konsep ketuhanan yang dianut masyarakatnya kala itu yang terbagi dalam dua kelompok, yakni sebagian besar menyembah berhala atau patung yang mereka buat sendiri, dan sebagian lagi menyembah benda-benda langit. Bukankah sejarah agama-agama dunia juga tidak lepas dari dua sesembahan ini?
Bahkan, perjuangan Ibrahim untuk menemukan Tuhan yang Esa ini menjadi lebih dramatis, karena ayahnya sendiri, Azar, diketahui seorang pembuat patung berhala yang cakap dan mayhur. Bertolak dari dua latar ini, maka Ibrahim melakukan sebuah aksi besar.
Aksi pertama, yakni saat Ibrahim muda nekat menghancurkan patung-patung pemujaan di sebuah kuil pemujaan milik Raja Namruz. Seorang diri, Ibrahim menghancurkan seluruh patung-patung itu dan menyisakan satu patung terbesar yang ia kalungkan kapak di lehernya. Inilah strategi naratif ala Ibrahim, ia menginsafi betul bahwa tindakannya akan memicu murka Raja Namruz dan masyarakatnya.
Benar saja, Ibrahim pun diadili dengan dakwaan telah menghancurkan “tuhan-tuhan” dan tempat pemujaan istana. Tetapi Ibrahim yang telah menyiapkan strategi, pun menyampaikan pledoinya dengan percaya diri.