Bukti nyata bahwa Desa Linggoasri dapat dikatakan sebagai desa yang moderat, ketika sebagian dari mahasiswa UIN K.H. ABDURRAHMAN WAHID sedang melaksanakan pembuatan film dokumenter “KODRAT GESANG” film yang membahas tentang moderasi beragama desa Linggoasri. Para masyarakat Linggoasri sangat ramah dalam menyambut kedatangan para mahasiswa, baik dari masyarakat penganut agama hindu ataupun islam. Mereka juga tidak segan-segan memberikan informasi kepada para mahasiswa tersebut, yang lebih menariknya lagi ketika hendak mendekati hari raya Nyepi, mereka tak segan untuk memperbolehkan para mahasiswa yang notabennya bukan beragama hindu, untuk ikut mensukseskan berbagai rangkaian acara sebelum perayaan hari raya Nyepi dilaksanakan.
Dalam proses pembuatan film dokumenter tersebut, tidak lepas dari sebuah proses wawancara terhadap para tokoh masyarakat Linggoasri, yang diantaranya Taswono sebagai tokoh agama hindu, Muhajirin sebagai tokoh agama islam dan Waris sebagai juru kunci batu lingga. Batu lingga merupakan sebuah icon dari Desa Linggoasri, yang tak lain dan tak bukan sebagai asal usul penamaan Desa Linggoasri.
Masyarakat Desa Linggoasri terbiasa dan menerima perbedaan
Dalam sebuah wawancara tersebut Taswono mengatakan bahwa masyarakat Desa Linggoasri sudah terbiasa dan sudah bisa menerima perbedaan sejak dari dulu, dari para leluhur dan pendahulu mereka karena menurutnya perbedaan tersebut telah menjadi sebuah kodrat hidup yang tidak bisa ditolak, bahkan dalam setiap keluarga ada yang menganut agama yang berbeda namun, tetap dapat hidup rukun berdampingan. Bagi mereka agama merupakan sebuah kebutuhan pribadi sehingga mereka tidak pernah mempermasalahkan dengan adanya perbedaan tersebut.
Baca Juga:Dekranasda Kabupaten Pekalongan Latih Pelaku UMKM Milenial Untuk Go InternasionalPemkab Pekalongan Support Kemajuan Sepakbola, Bupati Berharap Pecinta Bola Tak Terprovokasi
Kemudian hal yang paling menarik dari Linggoasri ialah, ketika dalam satu rumah tersebut terdapat keluarga yang menganut agama yang berbeda, ketika ada salah satu dari anggota keluarga tersebut yang meninggal baik Islam ataupun Hindu, tetap dikuburkan dalam satu tempat satu makam hanya saja menghadapnya yang berbeda. Dan untuk keluarga yang ditinggalkan juga menggelar acara yang mengundang dari kedua belah pihak agama, seperti tahlilan untuk umat muslim dan doa bersama untuk umat yang beragama Hindu selama tujuh hari tujuh malam.(*)