KAJEN – Kasus bullying dan kekerasan terhadap anak akhir-akhir ini kian memprihatinkan. Selama tahun 2022 di 35 kabupaten/kota di Jawa Tengah terdapat 1224 kasus kekerasan terhadap anak dan bullying.
“Itu cukup fantastis jumlahnya. Tentu dengan banyaknya kasus-kasus ini maka kita semuanya perlu bersinergi seperti kegiatan hari ini adalah kolaborasi juga dari Polda Jateng, ponpes, dan melibatkan kami di DP3AP2KB Provinsi Jateng,” ujar Sub Koordinator Perlindungan Anak DP3AP2KB Jateng, Isti Ilma Patriani, ditemui usai memberikan pembekalan santri di Pondok Pesantren Assalam Kajen, kemarin.
Upaya kolaboratif itu menjadi langkah yang penting agar anak-anak dilatih menjadi para agen perubahan atau agen 2P (pelopor dan pelapor). Anak-anak ini pun didorong menjadi jogo konco.
Baca Juga:English Challenge Day, Pelajar Zaman Now Harus Bangga Berbahasa Indonesia dan Kuasai Bahasa AsingDaftar Resep Cumi Saus Padang
Artinya, lanjut dia, mereka saling melindungi, saling menjaga sesama teman, agar tidak menjadi korban maupun pelaku kekerasan atau bullying. “Kita bersama-sama mewujudkan pondok pesantren yang ramah anak, terlebih sudah ada Peraturan Menteri Agama dan juga ada Permendikbud Ristek yang implementasinya saat ini kita tunggu bersama untuk pembentukan tim pencegahan dan penanganan kekerasan di satuan pendidikan,” kata dia.
Dengan langkah-langkah konkrit inilah diharapkan bisa meminimalisir adanya kasus kekerasan maupun bullying, terutama di ponpes. Jika kasus kekerasan dan bullying bisa dicegah, maka anak-anak bisa bertumbuh dengan maksimal dan menjadi generasi yang hebat di kemudian hari. “Kita lihat bahwasanya ponpes di Jateng jumlahnya cukup banyak. Ada 5059 pondok di Jateng,” katanya.
Menurutnya, tren kasus kekerasan terhadap anak dan bullying sebetulnya hampir sama dari tahun ke tahun. Di Jateng, kata dia, berkisar di angka 1000 ke atas. Namun jika bicara angka, perlu dilihat dari dua sisi.
“Ketika itu terlihat tinggi, maka kita lihat sisi masyarakat ini sudah berani untuk melaporkan jika ada kasus kekerasan. Artinya upaya pencegahan kita melalui sosialisasi itu sudah berhasil,” ujarnya.
Disinggung faktor yang memengaruhi bullying, ia mengatakan faktornya cukup banyak. Salah satunya budaya patriarki di Jawa, bahwasanya anak maupun perempuan itu dianggap warga nomor dua. Inilah yang perlu dirubah paradigma berpikirnya bahwa perempuan dan anak ini mereka kelompok yang rentan dan harus dilindungi. Mereka memiliki hak yang sama dengan semua pihak.