Kepala DPU Taru Kabupaten Pekalongan Mudiarso, dikonfirmasi terpisah menyampaikan, ruas Simego – Igir Gede direncanakan pembangunannya di tahun 2024. Karena keterbatasan fiskal, lanjut dia, direncanakan anggarannya Rp 2 miliar. “Semoga terealisir,” harap dia.
Seperti diketahui, kondisi jalan Igir Gede – Simego laiknya kali asat. Hanya tampak bebatuan besar yang ditata. Di beberapa titik, bebatuan itu sudah ambyar. Sehingga muncul ‘jeglungan’. Sangat berisiko untuk dilalui.
Jalan ini pun sempat viral di media sosial. Netizen menyebutnya jalan menuju ‘akhirat’. Maklum, dengan kondisi jalan rusak dan ekstrem seperti itu rawan menyebabkan kecelakaan lalu lintas. Utamanya bagi pengguna jalan yang tak menguasai medannya.
Baca Juga:Punya Gugus Tugas Pengawasan Konten Internet, Bawaslu Siap Awasi Hingga Dunia SiberBupati Serahkan SK Desa Wisata se- Kecamatan Paninggaran
Kondisi jalan bebatuan yang ekstrem ini berada di Desa Simego, Kecamatan Petungkriyono. Sudah bertahun-tahun, program pemerintah ruas tuntas tak pernah benar-benar tuntas. Masyarakat di wilayah pegunungan ini sudah lama mengidamkan jalan bagus, laiknya di wilayah perkotaan.
“Ruas jalan dari arah barat tahun kemarin sudah ada yang diaspal, tapi yang belum sekitar 1 kilometer sampai Desa Simego-nya. Ini jalan kabupaten. Itu yang ruas Dukuh Sabrang ke Simego sekitar 1 kilometer belum diaspal. Lalu dari Simego ke Igir Gede yang lebih parah itu kurang lebih 4 kilometer. Lalu dari Dukuh Igir Gede ke perbatasan aspal yang Gumelem sekitar 2 kilo,” terang Kaur Pelayanan dan Kesra Desa Simego, Sukentar.
Ia pun mengakui jalan ruak dengan narasi jalan menuju ke ‘akhirat’ itu berada di wilayah Igir Gede. Sebagian besar jalan di desanya masih bebatuan besar, sehingga sangat membahayakan untuk dilalui.
“Dampaknya ya luar biasa. Anak SMP itu ada yang ke Petungkriyono ya bawa motor sendiri. Bisa dilalui tapi saya liat kasihan. Kalau musim hujan apalagi tambah susah dilalui, jalanan licin tapi kan adanya jalan itu ya terpaksa,” ungkap dia.
Selain berdampak pada sulitnya akses pendidikan, jalan rusak di wilayahnya membuat harga jual hasil pertanian rendah. Padahal, biaya produksinya lebih tinggi. “Kentang terpaut harganya dengan Gumelem itu sekitar 1000 perkilo, karena akses jalannya itu sangat sulit. Biaya produksi lebih tinggi di sini. Angkutan pupuk di Gumelem 20 ribu, di sini ya 22.500 kadang 25 ribu. Biaya produksi tinggi, tapi harga jual lebih rendah gara-gara aksesnya sulit,” terang dia.