Oleh Dr. Fahrudin Eko Hardiyanto, M.Pd.
Rabu Legi, 14 Februari 2024, masyarakat Indonesia akan menggelar hajatan besar untuk memilih lurah mereka yakni Presiden Republik Indonesia melalu Pemilu serentak termasuk didalamnya Pemilihan Presiden (Pilpres). Bangsa ini akan menentukan pilihan dan memberikan mandat kepada putra-putra terbaik bangsa untuk diberi tugas menjadi wakil-wakil rakyat, menjadi anggota dewan terhormat dan nakhoda bangsa. Terhormat dari berbagai hal. Mulai dari terhormat atas tugas yang diembannya, cara memperolehnya, dan terhormat dalam mengembannya. Tidak cacat janji, apalagi sampai melakukan tindakan korupsi.
Sebagai pesta demokrasi untuk memilih pemimpin, idealnya Pemilu 2024 menghadirkan suasana yang menggembirakan, memberdayakan, dan membahagiakan hati warga saat mengikutinya. Namun realitasnya, Pemilu kerapkali menimbulkan disharmoni sosial dan perpecahan di tengah masyarakat. Kenyataan ini bisa terjadi karena sikap berdemokrasi yang belum dipraktikkan dengan baik untuk menghadirkan fungsi kebaikan dalam kehidupan. Perbedaan pilihan belum mampu dimaknai sebagai keniscayaan yang tak mungkin dihindari. Terbentuknya kubu-kubu ditengah masyarakat dapat menjadi ancaman terhadap harmoni dan nilai kebersamaan dalam bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Perbedaan masih dipandang sebagai skat pembatas yang membelah dan memisah kebersamaan dan persaudaraan. Belum lagi persoalan politik uang yang sulit dikontrol, berloba gedhe-gedhean membagi uang kepada masyarakat, meski uang pun bukan jaminan seseorang bisa terpilih dan atau layak dipilih. Ironis memang, namun itulah faktanya. Berpuluh tahun keadaan ini berlangsung. Dan nyaris tak ada pihak yang berkomitmen memberantasnya. Kalaupun ada larangan secara yuridis, dalam pelaksanaanya di masyarakat, bagi-bagi uang tetap berlangsung, baik sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan.
Baca Juga:Sumber Penopang Kehidupan yang DisepelekanPeran Masyarakat Dalam Pengelolaan Sumber Daya Air
Persoalan yang tak kalah penting untuk direalisasikan dalam pelaksanaan Pemilu adalah sikap netralitas dan profesional penyelenggara Pemilu. Keberpihakan panitia kepada calon tertentu akan dapat memicu konflik horizontal antar warga dan dengan panitia penyelenggara itu sendiri. Selain itu dapat pula memunculkan fitnah dan krisis kepercayaan terhadap proses sekaligus hasil Pemilu/Pilpres yang digelar. Pada sisi ini dibutuhkan netral-profesional penyelenggara Pemilu agar dapat terwujud penyelenggaraan kodrah lurah Indonesia yang baik.