RADARPEKALONGAN.ID, KENDAL – Sastra pesantren, sebagai salah satu khazanah budaya yang lahir dari dunia pendidikan Islam tradisional, dinilai masih kurang menyentuh realitas sosial dan terlalu terfokus pada hubungan spiritual dengan Tuhan. Kritik ini mencuat dalam acara Gelar Sastra Pesantren yang diselenggarakan oleh Pelataran Sastra Kaliwungu dalam rangka Harlah ke-13 komunitas tersebut sekaligus memperingati Haul ke-15 Abdurrahman Wahid, Minggu, 30 Desember 2024.
Bertempat di Teras Budaya Prof. Mudjahirin Thohir, Desa Kutoharjo, Kecamatan Kaliwungu, kegiatan ini menghadirkan sejumlah budayawan dan sastrawan ternama. Di antaranya adalah penulis “Ronggeng Dukuh Paruk” Ahmad Tohari, Guru Besar Fakultas Ilmu Budaya Undip Prof. Dr. Mudjahirin Thohir, Dosen Sastra Indonesia Undip Dr. M. Abdullah, serta beberapa tokoh lainnya seperti Ahmad Bintang Irianto, Pipit Mugi Handayani, dan Shuniyya Ruhama.
Kritik terhadap Kejumudan Sastra Pesantren
Dalam diskusi bertajuk NgopiSastra#25, para narasumber dan peserta mengungkapkan keprihatinan terhadap kondisi sastra pesantren saat ini. Ketua Lesbumi PCNU Kendal, Muslichin, memulai diskusi dengan mempertanyakan posisi sastra pesantren dalam ranah sastra nasional.
Baca Juga:Penataan Ulang Taman Sorogenen: Pasar Burung Tetap DipertahankanNenek 79 Tahun Hilang di Kebun Teh Jolotigo, Pencarian Meluas Hingga Radius 3 Kilometer
“Boleh tidak saya menganggap sastra pesantren itu sastra NU? Saya senang melihat sastra pesantren yang belum banyak tergali,” ujar Muslichin.
Menanggapi hal itu, Prof. Mudjahirin Thohir menegaskan bahwa sastra pesantren tidak bisa direduksi menjadi milik NU semata, apalagi jika mengacu pada pengertian kelembagaan formal.
“Usia pesantren jauh lebih tua dari NU. Dunia pesantren sudah ada sebelum NU lahir, sehingga pesantren tidak boleh diklaim sepenuhnya oleh NU,” tegas Prof. Mudjahirin.
Ia juga menyoroti kejumudan sastra pesantren yang cenderung menjadikan seni hanya sebagai media pujian atau justifikasi, tanpa memunculkan kritik sosial.
“Seni di pesantren seringkali hanya menonjolkan estetika, tetapi kurang memberikan konten pemberontakan yang dapat mengubah tradisi-tradisi jumud menjadi progresif,” jelasnya.
Sastra Pesantren Harus Lebih Membumi
Ahmad Tohari, dalam paparannya, mengajak sastrawan pesantren untuk lebih membumi dan menghadirkan tema-tema yang menyuarakan kepedulian sosial.
“Sebagai santri, saya harus mampu menulis tema kehidupan yang luas. Tema-tema karya saya selalu tentang santri dan orang miskin, karena ini bagian dari tanggung jawab saya sebagai seorang Muslim,” ungkapnya.