Monumen Djuang Kota Pekalongan, Simbol Perlawanan Rakyat Pekalongan Terhadap Jepang

Monumen Djuang Kota Pekalongan, Simbol Perlawanan Rakyat Pekalongan Terhadap Jepang
ISTIMEWA SIMBOL PERLAWANAN - Monumen Djuang Kota Pekalongan menjadi simbol keberanian dan perlawanan masyarakat Pekalongan atas penjajahan Jepang.
0 Komentar

RADARPEKALONGAN.ID, KOTA PEKALONGAN – Monumen Djuang menjadi salah satu landmark khas Kota Pekalongan yang sudah banyak dikenal. Letaknya yang berada di Jalan Pantura, membuat keberadaan monumen tersebut mudah sekali terlihat oleh masyarakat yang melintas. Namun tak hanya menjadi landmark semata, Monumen Djuang Kota Pekalongan merupakan simbol nyata keberanian rakyat Pekalongan dalam melawan penjajahan Jepang.

Monumen ini dibangun untuk mengenang peristiwa heroik 3 Oktober 1945, saat terjadi pertempuran besar antara rakyat Pekalongan dan tentara Jepang. Pemerhati Sejarah Pekalongan Dirhamsyah menuturkan, setelah proklamasi kemerdekaan Presiden Soekarno menginstruksikan pembentukan Komite Nasional Indonesia Daerah (KNID) di seluruh daerah, termasuk Pekalongan.

Melalui musyawarah yang melibatkan tokoh agama, tokoh nasional, dan pimpinan Pembela Tanah Air (PETA), terbentuklah KNID Pekalongan dengan ketua dr. Sumbadji dan wakil ketua dr. Ma’as. “Ada instruksi dari Bung Karno pada bulan Agustus tanggal 23 kalo ga salah, pidato di radio supaya setiap daerah itu membentuk komite nasional Indonesia daerah,” tutur Dirham. KNID melakukan berbagai pendekatan untuk mengambil alih kekuasaan Jepang di Pekalongan. Sebelumnya Jepang sudah dilobi untuk meninggalkan Pekalongan namun berjalan cukup alot.

Baca Juga:PKK & POPTI Batang Kolaborasi, Wujudkan Batang Zero Talasemia Melalui Edukasi & Skrining!Sidang Paripurna Istimewa HUT Kendal ke-420, Bupati Ajak Rakyat Gotong Royong Bangun Kendal Berdikari!

Akhirnya, Jepang setuju untuk mengadakan perundingan, yang awalnya dijadwalkan pada 1 Oktober 1945 namun diundur menjadi 3 Oktober 1945 pukul 10.00 WIB bertempat di gedung Kenpeitai. Pada hari perundingan, rakyat Pekalongan dan sekitarnya berkumpul di Lapangan Kebonrejo, tepat di depan gedung Kenpeitai. Tokoh ulama KH. Syafii Abdul Majid dan KH. Siroj turut hadir memimpin massa yang memadati lapangan. Pihak Indonesia yang melakukan perundingan diwakili oleh Mr. Besar (Residen Pekalongan), dr. Sumbadji, dr. Ma’as, R. Suprapto, A. Kadir Bakri, dan Jauhar Arifin. Sementara dari pihak Jepang diwakili oleh Tokonomi (Syuchokan), Kawabata (Wali Kota Jepang), Hayashi (staf Kenpeitai), dan Harizumi (penerjemah).

Perundingan terjadi dalam waktu yang lama, menyebabkan ketegangan di luar gedung meningkat. Massa yang menanti mulai gelisah. Menurut penuturan Dirham, pada saat itu tiga pemuda yaitu Bismo, Mumpuni, dan Rahayu nekat menurunkan bendera Jepang di depan kantor Kenpeitai dan menggantinya dengan bendera Merah Putih. Mereka seketika ditembaki oleh tentara Jepang, pada akhirnya pertempuran antara rakyat pekalongan dan tentara jepang pecah. Pertempuran berlangsung sengit dan memakan banyak korban.

0 Komentar