Oleh Rizki Nuansa Hadyan, S.Psi, MM, Psikolog*
“Kita tidak bisa menyembuhkan luka di tempat yang sama di mana luka itu terjadi, tapi kita bisa belajar memahami mengapa kita selalu kembali ke sana.”
Saya pernah menangani seorang klien bernama R. Ia tumbuh dalam keluarga yang minim afeksi—pujian dan pelukan terasa asing seperti bahasa asing. Ketika dewasa, R berkali-kali menjalin hubungan dengan pasangan dingin dan jauh.
Di sesi terapi, R menangis, “Kenapa saya selalu terjebak di kisah yang sama? Saya ingin sekali dicintai, tapi saya justru memilih yang tidak bisa mencinta.”
Baca Juga:Khidmat, Peringatan Maulid Nabi Muhammad di SMA Muhammadiyah 1 Pekajangan PekalonganSmuhi Rayakan Milad ke-70, Ribuan Alumni Hadir Meriahkan Agenda Akbar
Saya ajak R menelusuri pola pilihannya. Kami menemukan bahwa R sebenarnya mencari kesempatan untuk membuktikan bahwa ia layak dicintai, dengan berharap pasangan dingin itu akhirnya berubah.
Namun, pola ini justru memperbarui luka lama, bukan menyembuhkannya. Ketika R mulai berani memilih orang yang benar-benar hangat dan terbuka, proses penyembuhan pun berjalan—meski tidak mudah dan penuh tantangan.
Saya sering mendengar orang mengeluh, “Kenapa saya selalu jatuh pada orang yang sama—yang menyakitkan, yang tidak bisa mencinta sepenuhnya?”
Di ruang terapi, pertanyaan ini bergaung seperti doa yang tak kunjung dijawab. Namun bagi seorang psikolog, saya tahu bahwa ini bukan kebetulan.
Trauma masa lalu memiliki cara misterius untuk memanggil kembali situasi yang serupa, seolah ingin menyempurnakan bab yang dulu tertinggal terbuka.
Dalam kasus yang lain, saya pernah menangani seorang klien yang kehilangan orang tuanya sejak usia muda.
Ketika ia tumbuh dewasa, meskipun telah berusaha untuk membangun hubungan yang sehat, ia justru terus memilih pasangan yang mengabaikan atau bahkan menyakiti perasaannya.
Baca Juga:Mencari Katarsis di Tengah Riuh Demonstrasi – Pentingnya Social Support System bagi Masyarakat IndonesiaRenungan Kemerdekaan ke-80: Mengapa Indonesia Belum Selesai?
Setiap kali hubungan itu berakhir, ia merasa dihancurkan, namun entah mengapa, ia kembali memilih pola yang sama.
Ini adalah contoh bagaimana trauma masa lalu dapat menarik trauma yang lebih banyak, mengaburkan kemampuan seseorang untuk melihat kemungkinan hubungan yang lebih sehat dan bahagia.
Salah satu bentuk trauma yang sering kali tidak disadari adalah luka batin yang ditinggalkan oleh ‘kerasnya orang tua dalam mendidik anak.’