Di banyak keluarga, orang tua sering kali menganggap bahwa kedisiplinan yang ketat dan pendekatan yang tegas adalah cara terbaik untuk membentuk karakter anak.
Namun, tanpa disadari, cara-cara ini bisa menanamkan rasa takut, rendah diri, dan perasaan tidak pernah cukup baik pada anak.
Anak yang tumbuh dengan tekanan dan kritik terus-menerus dari orang tua cenderung menginternalisasi perasaan tidak layak dan tidak berharga.
Baca Juga:Khidmat, Peringatan Maulid Nabi Muhammad di SMA Muhammadiyah 1 Pekajangan PekalonganSmuhi Rayakan Milad ke-70, Ribuan Alumni Hadir Meriahkan Agenda Akbar
Luka ini, meski tampak sepele, dapat berkembang menjadi trauma yang bertahan hingga dewasa, menarik trauma baru dalam hubungan dan pola kehidupan mereka.
Seiring waktu, individu yang mengalami kekerasan emosional ini mungkin merasa terperangkap dalam pola pengulangan, merasa tidak mampu keluar dari bayang-bayang ketakutan dan rasa gagal yang ditanamkan sejak masa kecil.
Trauma bekerja seperti magnet tak kasatmata. Ia menarik kita ke arah yang familiar—bahkan jika yang familiar itu menyakitkan.
Seseorang yang tumbuh dalam rumah penuh teriakan cenderung merasa “nyaman” di tengah konflik, karena keheningan justru terasa asing dan menegangkan.
Lalu, tanpa sadar, ia akan memilih pasangan yang “menjerit”, bukan karena ingin disakiti, melainkan karena otaknya mengira itulah cinta.
Trauma adalah luka yang tidak terlihat, namun efeknya begitu nyata dalam kehidupan kita. Banyak orang beranggapan bahwa trauma hanyalah pengalaman buruk yang terjadi di masa lalu, namun pada kenyataannya, trauma memiliki kemampuan untuk menarik lebih banyak trauma.
Fenomena ini, yang saya sebut sebagai “trauma menarik trauma,” terjadi ketika seseorang yang telah mengalami trauma cenderung terjebak dalam pola yang sama, seolah-olah memilih untuk mengulang kesakitan tersebut.
Baca Juga:Mencari Katarsis di Tengah Riuh Demonstrasi – Pentingnya Social Support System bagi Masyarakat IndonesiaRenungan Kemerdekaan ke-80: Mengapa Indonesia Belum Selesai?
Sebagai seorang psikolog, saya sering melihat klien yang terperangkap dalam lingkaran ini, seakan-akan dosa yang mereka pilih menjadi bagian dari identitas mereka yang tidak dapat mereka lepaskan.
Namun di balik logika tragis itu, ada kerinduan akan resolusi. Jiwa manusia selalu mencari kesempatan kedua—bukan untuk mengulang luka, melainkan untuk menyembuhkannya.
Sayangnya, tanpa kesadaran, peluang itu berubah menjadi jebakan. Kita kembali “memilih dosa yang sama,” berharap hasil berbeda dari skenario yang identik.