Dosa yang Kupilih

Rizki Nuansa Hadyan Dosa yang Kupilih
Menurut Psikolog Rizki Nuansa Hadyan, seseorang yang sering mengalami trauma di masa kecil, kelak setelah dewasa akan selalu terjebak dengan pola yang sama dan sulit untuk menghindarinya.
0 Komentar

Dalam kacamata profesi kami psikolog, saya belajar memandangnya dengan mata yang lebih jujur, bahwa setiap pilihan yang tampaknya salah, sesungguhnya adalah permintaan “diam” terhadap penyembuhan yang tertunda.

Maka, “dosa” itu barangkali bukan benar-benar dosa—melainkan panggilan jiwa yang keliru jalur. Jika kita mau berhenti sejenak, menatap luka itu tanpa lari, barangkali kita bisa berhenti memilih dengan cara yang sama.

Di titik itu, trauma berhenti menarik trauma. Ia mulai menarik kesadaran. Penting untuk diingat bahwa meskipun trauma bisa menarik lebih banyak trauma, ini bukanlah suatu takdir yang tidak bisa diubah.

Baca Juga:Khidmat, Peringatan Maulid Nabi Muhammad di SMA Muhammadiyah 1 Pekajangan PekalonganSmuhi Rayakan Milad ke-70, Ribuan Alumni Hadir Meriahkan Agenda Akbar

Sebagai seorang psikolog, saya melihat bahwa pemahaman tentang pola ini adalah langkah pertama dalam proses penyembuhan.

Dengan mengenali bahwa kita tidak harus terjebak dalam luka lama, kita bisa mulai memilih untuk memutuskan siklus tersebut.

“Dosa yang kupilih” tidak harus menjadi pilihan yang terus-menerus, karena dalam kesadaran dan terapi, ada kemungkinan untuk memilih jalan yang lebih sehat—jalan yang membawa kita ke kebebasan emosional dan mental yang lebih besar.

Sebagai penutup, penting bagi kita semua untuk menyadari betapa kuatnya pengaruh masa lalu terhadap keputusan yang kita ambil hari ini.

Kita memang tidak selalu bisa mengendalikan pengalaman yang membentuk kita, namun kita memiliki kuasa untuk memilih cara meresponsnya.

Menjaga kesehatan mental bukan sekadar menghindari luka, tetapi tentang berani berdialog dengan diri sendiri: menanyakan motif di balik pilihan, mendengarkan bisikan luka, dan memberi ruang bagi diri untuk tumbuh di luar pola lama.

Dengan membiasakan refleksi dan dialog internal yang jujur, kita pelan-pelan bisa membebaskan diri dari tarik-menarik trauma, dan mulai memilih langkah-langkah yang lebih sadar dan sehat untuk masa depan kita. (*)

Baca Juga:Mencari Katarsis di Tengah Riuh Demonstrasi – Pentingnya Social Support System bagi Masyarakat IndonesiaRenungan Kemerdekaan ke-80: Mengapa Indonesia Belum Selesai?

*) Rizki Nuansa Hadyan adalah Coach, Trainer, Psikolog dan Pemerhati Masalah Sosial.

0 Komentar