Di Balik Kemenangan Zohran Mamdani, Psikologi Representasi dan Pergeseran 'In-Group'

Rizki Nuansa Hadyan
Di balik kemenangan Zohran Mamdani menjadi Walikota New York tersimpan pola komunikasi politik yang berbasis psikologi.
0 Komentar

Kemenangan Mamdani berfungsi sebagai validasi kolektif. Bagi ribuan pemilih di Queens, kemenangannya mengirimkan pesan psikologis yang kuat: “Identitas kami diakui.

Suara kami penting. Kami ada di panggung ini.” Ini adalah suntikan harga diri kolektif (collective self-esteem) yang dampaknya seringkali lebih kuat daripada janji kebijakan mana pun.

2. Pergeseran “In-Group”: Dari Etnis Menjadi Isu

Fenomena yang paling menarik adalah bagaimana kampanye Mamdani tampaknya berhasil mengubah definisi “in-group”.

Baca Juga:Dosa yang KupilihKhidmat, Peringatan Maulid Nabi Muhammad di SMA Muhammadiyah 1 Pekajangan Pekalongan

Jika politik tradisional di New York sering terkotak-kotak berdasarkan etnis atau ras (suara “Hispanik”, suara “Kulit Hitam”, dll.), kampanye progresif modern seperti yang dijalankan Mamdani mencoba membangun koalisi berdasarkan identitas isu.

Mereka menciptakan “in-group” baru yang melintasi batas-batas lama.

“In-group” ini adalah: “kita para pengguna jasa transportasi publik, “kita para masyarakat yang kesulitan mengakses kepemilikan rumah”, “kita masyarakat yang mengeluhkan kenaikan harga sembako”, atau “kita yang percaya pada layanan kesehatan untuk semua tanpa diskriminasi.”

Dengan membingkai ulang musuh bersama (common enemy) bukan sebagai kelompok etnis lain, melainkan sebagai “sistem yang tidak adil” atau “kepentingan korporat,” Mamdani berhasil membangun empati kolektif.

Seorang imigran Bangladesh dan seorang profesional muda kulit putih tiba-tiba merasa berada dalam “in-group” yang sama karena mereka sama-sama berjuang dengan harga sewa yang tinggi.

Ini adalah strategi psikologis yang brilian untuk menyatukan keragaman.

3. Kekuatan Representasi: “Jika Dia Bisa, Saya Juga Bisa”

Kita tidak bisa meremehkan dampak psikologis dari representasi. Psikolog Albert Bandura dalam Teori Belajar Sosial-nya menekankan pentingnya modeling (peniruan).

Ketika seorang anak muda dari Astoria melihat seseorang yang terlihat seperti mereka, berbicara seperti mereka, dan memegang nilai-nilai yang sama, berhasil menduduki jabatan publik, itu meruntuhkan hambatan psikologis internal.

Bagi banyak orang, politik terasa jauh dan abstrak, hanya untuk “orang lain”. Kemenangan Mamdani mengubah narasi itu.

Baca Juga:Smuhi Rayakan Milad ke-70, Ribuan Alumni Hadir Meriahkan Agenda AkbarMencari Katarsis di Tengah Riuh Demonstrasi – Pentingnya Social Support System bagi Masyarakat Indonesia

Ini bukan lagi sekadar harapan pasif (hope), melainkan berubah menjadi efikasi diri kolektif (collective self-efficacy)—keyakinan bahwa “kita” memiliki kekuatan untuk benar-benar mengubah keadaan.

Ini adalah percikan yang dapat menyalakan partisipasi politik dari kelompok-kelompok yang sebelumnya apatis.

0 Komentar