3 Adab Safar (Bepergian), Jadikan Safarmu Ibadahmu

adab safar
Pahami adab-adab safar, agar safarmi jadi ladang ibadahmu (Hadi Waluyo)
0 Komentar

  1. Melantunkan syair dan puisi

Adab safar saat di perjalanan adalah melantunkan syair dan puisi. Ini sebagaimana hadits Salamah bin al-Akwa’ Radhiyallahu anhu, beliau berkata:

“Kami bepergian bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menuju Khaibar, kemudian kami terus bergerak ketika malam, lalu berkatalah seseorang kepada Amir bin Akwa’, ‘Tidakkah engkau perdengarkan kepada kami syair-syair kegembiraanmu?’

Hal ini dikarenakan Amir adalah seorang penyair, kemudian beliau (Amir) turun dari tunggangannya dan memberikan semangat kepada orang-orang, seraya berkata: ‘Ya Allah, jika tidak karena Engkau pasti kami tidak akan pernah mendapatkan petunjuk, tidak pula kami bershadaqah dan tidak pula kami shalat (hingga akhir doa).’

Baca Juga:Wisata Ciblon Karanggondang, Asyik Bermain Air di Saluran Irigasi, Hanya Bayar Parkir Rp 5.00010 Manfaat Salak untuk Kesehatan, Bermanfaat Kontrol Asam Urat

Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya: ‘Siapakah yang bersenandung itu?’ Mereka menjawab: ‘Amir bin al-Akwa’.’ Kemudian Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam berkata: ‘Semoga Allah memberikan rahmat kepadanya…’” [HR. Al-Bukhari no. 2477 dan Muslim no. 1802 (124)]

Adab safar lainnya ialah beristirahat dalam perjalanan (Hadi Waluyo)

  1. Beristirahat dalam perjalanan

C. Adab Setelah Safar

  1. Mengucapkan doa safar

Adab safar apabila kembali dari bepergian adalah membaca doa safar seperti di atas, kemudian menambahkannya dengan lafaz doa:

آيِبُوْنَ تَائِبُوْنَ عَابِدُوْنَ لِرَبِّنَا حَامِدُوْنَ.

“Kami kembali dengan bertaubat, tetap beribadah dan selalu memuji kepada Rabb kami.” [HR. Muslim no. 1345, Ahmad III/187;189, an-Nasa-i no. 551 dalam ‘Amalul Yaum wal Lailah dan Ibnu Sunni no. 526 dari Shahabat Anas bin Malik Radhiyallahua anhu]

Apabila kembali dari bepergian dan melalui bukit atau melalui tempat yang luas lagi tinggi, bertakbir tiga kali kemudian berdoa:

لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ آيِبُوْنَ، تَائِبُوْنَ، عَابِدُوْنَ، سَاجِدُوْنَ، لِرَبِّنَا حَامِدُوْنَ، صَدَقَ اللهُ وَعْدَهُ وَنَصَرَ عَبْدَهُ وَهَزَمَ الأَحْزَابَ وَحْدَهُ.

“Tidak ada Ilah yang berhak diibadahi melainkan Allah Yang Mahaesa tiada sekutu bagi-Nya. Bagi-Nya kerajaan dan segala pujian. Dia-lah Yang Mahakuasa atas segala sesuatu, kami kembali dengan bertaubat, tetap beribadah dan bersujud, serta selalu memuji Rabb kami. Dialah Yang membenarkan janji-Nya, menolong hamba-Nya dan menghancurkan segala musuh dengan ke-Maha-esaan-Nya.” [HR. Al-Bukhari no. 1797, Muslim no. 1344 (428)]

Dan sangat disukai (dianjurkan) untuk mengulang doa tersebut:

آيِبُوْنَ تَائِبُوْنَ عَابِدُوْنَ لِرَبِّنَا حَامِدُوْنَ.

“Kami kembali dengan bertaubat, tetap beribadah dan selalu memuji kepada Rabb kami.” [HR. Muslim no. 1345, Ahmad III/187;189, an-Nasa-i no. 551 dalam ‘Amalul Yaum wal Lailah dan Ibnu Sunni no. 526 dari Sahabat Anas bin Malik Radhiyallahu anhu]

0 Komentar