“Alhamdulillah sekarang ini sudah tidak ribut karena sudah tidak shalat subuh. Problemnya sudah kelewat.”
Perbedaan lainnya adalah dalam segmen dakwah, di mana NU dan Muhammadiyah punya kelebihan dan kekurangan masing-masing yang sebetulnya bisa saling mengisi.
“Orang NU disuruh bikin universitas rapi seperti Muhammadiyah, sulit Pak….Tapi orang Muhammadiyah suruh ngurusi orang macul yang sehari-hari nggak ngerti apa-apa, sehingga dia musyrik menjadi muslim, nggak sabar juga Pak,” jelas Hasyim Muzadi.
Baca Juga:Puisi: Perjalanan Negeri MimpiTurun Tangan, Perumda Tirto Panguripan Salurkan Bantuan Sembako ke Korban Banjir
Subastani yang disampaikan Hasyim Muzadi memang ada benarnya, meski dalam perkembangannya saat ini mungkin tak lagi beda mutlak. Dulu, NU sering dianggap kurang berbakat mendirikan dan mengelola perguruan tinggi serta rumah sakit.
Tapi ada benarnya juga bahwa Muhammadiyah yang lahir di perkotaan (Kauman, Yogyakarta), lebih lekat dengan karakter masyarakat urban yang terbuka dan kosmopolit, sehingga kurang sabaran untuk menggarap masyarakat pedesaan.
Menurut KH Hasyim Muzadi, meski NU dan Muhammadiyah ini berbeda di dalam furu’ bahkan ia menyebutnya ibnul furu’, tetapi wawasan keumatan dan wawasan kenegaraan kedua ormas ini tetaplah sama.
“Karena Hadrotus Syaikh Hasyim Asy’ari ikut mendirikan Republik, Kiai Ahmad Dahlan ikut mendirikan Republik, pahlawan nasional ada di dua belah pihak, tahu jerih payahnya bagaimana membawa Islam di tengah kebhinekaan yang luar biasa ini.”
Hanya saja, Kyai Hasyim juga mengingatkan bahwa titik temu NU dan Muhammadiyah ini ketika disatukan banyak yang tidak suka. Karena itu, dia berpesan agar wawasan keagamaan, wawasan keumatan, wawasan kebangsaan dan kenegaraan tidak boleh dirobek oleh kepentingan apapun juga. []