Hasil survei internasional tentang literasi matematis siswa Indonesia menyajikan fakta yang memprihatinkan. Sejak 2003, hasil survei Programme for International Student Assessment (PISA) yang dilaksanakan setiap tiga tahun menunjukkan peringkat Indonesia yang tidak beranjak dari sepuluh terbawah.
Bahkan, pada survei PISA 2018 siswa Indonesia secara rata-rata hanya memperoleh skor 379 dari skor rata-rata internasional 489 dan hanya 28% siswa diantaranya yang mampu mencapai level 2 atau lebih (OECD, 2019).
Salah satu faktor yang berkontribusi terhadap rendahnya prestasi siswa dalam matematika adalah kecemasan matematika. Beberapa penelitian terdahulu (Ikhsan, 2019; Nurjanah & Alyani, 2021), termasuk yang telah penulis lakukan menghasilkan temuan yang semakin ironis bahwa banyak di antara siswa kita yang mengalami kecemasan matematika.
Baca Juga:8 Standar Kehalalan Produk Kosmetika dan Penggunaannya menurut MUI, Yuk Disimak!Coffee Morning Hybrid: Cara Lapas Pekalongan Tingkatkan Sinergitas Internal
Shi dkk. (2022) menyatakan bahwa kecemasan matematika merupakan reaksi emosi negatif yang muncul ketika seseorang berhadapan dengan operasi matematis atau bilangan. Kecemasan matematika ini memberikan dampak negatif pada siswa dan akan terus meningkat seiring meningkatnya kompleksitas materi yang mereka pelajari apabila tidak ditanggulangi dengan baik.
Upaya untuk mereduksi kecemasan matematika melalui berbagai penelitian implementasi model dan media pembelajaran inovatif telah dilakukan. Namun begitu, temuan berbagai studi belum menunjukkan hasil yang optimal.
Terkait rendahnya prestasi matematika siswa dan timbulnya kecemasan matematika pada diri mereka, jangan-jangan sebagai orang tua, kita juga memiliki andil terhadap hal ini. Oleh sebab itu, selain melalui pembelajaran matematika di sekolah, peran serta bersama melalui pendidikan keluarga dan masyarakat diharapkan dapat berkontribusi dalam mereduksi kecemasan matematika pada siswa.
Keluarga, menurut Soelaeman (1994) memiliki beberapa fungsi diantaranya menjadi sarana edukasi dan perlindungan. Keluarga menjadi sarana pendidikan pertama dan utama bagi tumbuh kembang anak. Selain itu, keluarga juga menjadi tempat yang paling aman dan nyaman bagi mereka. Oleh karenanya, alih-alih memberikan tekanan kepada anak, keluarga seyogyanya turut andil dalam mengedukasi mereka untuk percaya diri bahwa belajar matematika itu mudah, menyenangkan, dan bermanfaat.
Keluarga, dalam hal ini khususnya orang tua dapat membiasakan anak-anak belajar matematika melalui aktivitas sehari-hari. Misalnya ketika melakukan aktivitas di dapur, orang tua dapat mengenalkan kepada anak takaran gula untuk satu gelas air teh dan memberikan tantangan kepada mereka dalam menentukan takaran gula untuk satu teko yang dapat memuat air teh untuk satu keluarga. Apabila kemampuan dan pola berpikir anak dalam menyelesaikan masalah matematis dari yang sederhana sudah mulai terbentuk, mereka akan lebih mudah mempelajari materi matematika yang diajarkan di sekolah.