RADARPEKALONGAN.ID – Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang begitu pesat dan masif melahirkan arus informasi yang sedemikian derasnya. Kini, setiap orang dengan modal smartphone dan internet bisa mengakses jutaan informasi setiap saat, cukup dari genggaman tangannya. Pun tak hanya menerima (konsumen) informasi, setiap orang juga tak butuh kualifikasi apapun untuk memproduksi dan menyebarkan informasi kapan dan di manapun. Asal ada internet! Jadi, inilah era informasi.
Nah, sebagai produk teknologi, era informasi tetap saja berwajah ganda, menyimpan dua sisi mata uang. Satu sisi, akses informasi semakin terbuka dan transparan, cepat, mudah, dan murah. Namun di sisi lain, muncul persoalan soal kualitas sebuah informasi, soal benar tidaknya, validitas dan akurasinya, fakta atau bohongnya, dan belum lagi soal berimbang atau tidaknya.
Sekarang kita ambil saja problem paling mudah tetapi juga meresahkan, yakni merebaknya hoaks atau berita bohong. Faktanya, melimpahnya sumber daya informasi yang bisa diakses setiap orang, juga beriring dengan risiko terpapar hoaks. Dan faktanya juga menunjukkan bahwa hoaks tidak hanya menyasar mereka yang berpendididikan rendah atau tinggal di pelosok pedesaan, karena orang perkotaan yang well educated dan bahkan well informed pun bisa menjadi korban hoaks.
Baca Juga:14 Januari 1946, Gerilya TKR dan Pasukan Jenggot Sukses Gagalkan Agresi BelandaDua Hal Ini Bikin Kolaborasi Dewa 19 Bareng Musisi Rock Dunia jadi Lebih Istimewa
Ingat kan, hoaks tentang wafatnya BJ Habibie sebelum beliau benar-benar meninggal pada 11 September 2019 silam. Saat itu ada beberapa pejabat level Menteri yang juga jadi korban, karena menerima pesan broadcast. Bahkan ada pejabat yang men-share ulang informasi hoaks ini ke media sosialnya.
Kok bisa ya? Ya bisa saja, karena ini membuktikan kita hidup di era informasi. Lalu kenapa hoaks masih mudah menjalar, justru ketika akses atas sumber daya informasi sedemikian terbuka? Nah, sebagai ilustrasi, dua cerita berikut bisa memberikan gambaran.
Bagi generasi Zilenial atau bahkan milenial yang hidup di perkotaan, mungkin platform facebook sudah semakin tak populer, bahkan mulai ditinggalkan. Mereka lebih memilih platform yang lebih kekinian, seperti Instagram dan TikTok. Tetapi jangan salah, di pedesaan facebook justru masih amat digemari oleh masyarakat, karena dianggap lebih mudah. Mungkin dalam lima tahun terakhir, setelah demam facebook awal di 2009-2011 an.