[KHUTBAH IDUL FITRI 2023]: Ramadan, Idul Fitri, dan Perjuangan Manusia Menemukan Bahagia

Perjuangan manusia menemukan bahagia
Warga Muhammadiyah saat menunaikan shalat Ied di komplek Masjid Darul Iman, Kota Pekalongan. (dok Istimewa)
0 Komentar

Maka untuk mensucikan dirinya, seorang muslim tidaklah cukup hanya menjalankan ibadah yang personal, melainkan juga ibadah yang bersemangat sosial. Inilah lompatan quantum menurut Kuntowijoyo, kesadaran dari kesalehan personal kepada kesalehan sosial. Maka kepedulian dan komitmen untuk berbagi kebahagiaan adalah sebuah jalan perjuangan manusia menemukan bahagia.

Siapa yang mau berbagi kebahagiaan, maka sejatinya ia sedang memproses dirinya untuk bahagia. Para bijak bahkan mengatakan, puncak kebahagiaan seorang manusia bukanlah saat ia mampu memenuhi keinginannya, melainkan justru saat ia terlibat membahagiakan orang lain. Sungguh indah nian perjuangan manusia menemukan bahagia. Sebab jalan perjuangan manusia menemukan bahagia ternyata tidak hanya berfokus pada diri, tetapi juga orang lain.

Hadirin yang berbahagia,Nilai keutamaan ketiga dalam berhari raya Ied atau jalan perjuangan manusia menemukan bahagia yang ketiga, adalah memperkuat ukhuwah. Para ulama menyebut hukum shalat Idul Fitri adalah sunah muakkadah, sunah yang sangat dianjurkan. Tetapi lebih dari sekadar sunah, shalat ied juga membawa syiar dan pesan kuat tentang persatuan dan kesatuan, tentang ukhuwah Islamiyah. Apapun latar belakangmu, kita masih bisa berhimpun dalam shaf yang sama, meramaikan shalat Ied bersama, di masjid dan mushala ataukah di tanah lapang.

Shalat ied selalu membawa syiar tentang pentingnya ukhuwah. (dok. istimewa)

Baca Juga:[Khutbah Idul Fitri 1444 H] Merayakan Cinta di Hari RayaMomen Lebaran 2023, Peluang Warga Batang menjadi Tuan Rumah yang Baik Bagi Pemudik

Pesan ukhuwah ini penting, terutama di tengah tahun-tahun politik seperti sekarang ini. Sudah hampir 10 tahun ini anak-anak bangsa menjadi korban dari narasi-narasi politik yang mempolarisasi, memecah belah, kita lebih mahir menyebut minhum dibanding minna.

Kita layak prihatin, betapa mahirnya netizen kita dengan perilaku sharing sebelum saring, komen dulu sebelum membaca konten, seolah kita mengalami darurat membaca. Dan dalam konteks keagamaan, kita menghadapi fenomena post truth, ketika kebenaran tak lagi taat obyektivitas. Publik dibuat sulit melihat kebenaran secara obyektif, karena orang berfokus pada siapa, bukan apa yang disampaikan.

Maka di Idul Fitri dan Syawal nanti, semestinya menjadi momentum rekonsiliasi antar umat, antar anak bangsa. Ketika maaf dan memaafkan menjadi tradisi yang masif di masyarakat kita, ketika tradisi saling menghalalkan (halal bi halal) mewarnai ruang-ruang sosial kita di semua lini.

0 Komentar