[Khutbah Idul Fitri 1444 H] Merayakan Cinta di Hari Raya

Khutbah Idul Fitri
Hari Raya Idul Fitri menjadi momentum untuk menebarkan cinta. (disway.id)
0 Komentar

Allahu akbar Allahu akbar Allahu akbar, walillahil hamdu. Sungguh sebuah kesyukuran yang mendalam, bahwa Allah Swt masih mempertemukan kita dengan Ramadan, memampukan kita berpuasa selama satu bulan, dan hari ini di 1 Syawal kita bergembira merayakan Idul Fitri 1444 H, semoga kita sebenar-benarnya telah meraih kemenangan.

Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurah kepada sosok manusia agung, Rasulullah Muhammad Saw, sayidul anbiya wal mursalin, yang cintanya kepada umatnya sedemikian besar hingga di Hari Peradilan kelak.

Jamaah Shalat Idul Fitri yang dirahmaati Allah

Bayangkan kita adalah seorang Ayah yang ketika pagi buta keluar rumah untuk mencari nafkah, berjuang untuk istri dan anak tercinta agar bisa makan dan memenuhi kebutuhan dasarnya, maka pastilah Anda akan berjuang dengan sungguh-sungguh, mengorbankan banyak hal demi bisa membahagiakan orang-orang di rumah. Sehingga saat petang menjelang dan kita pulang ke rumah, kita ingin membawakan hasil dari usaha terbaik kita, memberi kabar yang menggembirakan orang-orang yang telah menunggu di rumah.

Baca Juga:Momen Lebaran 2023, Peluang Warga Batang menjadi Tuan Rumah yang Baik Bagi PemudikTetap Waspada, Ini 3 Isu Krusial Jelang Lebaran yang Bisa Ganggu Kondusivitas Kendal

Itulah potret dari cinta, yang mendorong kita mau berkorban dengan segenap pikiran, tenaga, dan bila perlu nyawa kita pertaruhkan. Seperrti kata Erich Fromm, love is to love, not be loved, bahwa cinta adalah perkara mencintai, bukan bagaimana dicintai. Seorang pecinta selalu fokus dan berkosentrasi bagaimana memberikan dan membuktikan cintanya, karena perkara dicintai bisa jadi hanyalah akibat dan itu di luar kendali kita. Maka karena mecintai, kita mau memberi dan membuktikan cinta kita, jalannya adalah pengorbanan. Dan tidakkah pengorbanan untuk sesuatu yang kita cintai itu membahagiakan?

Jamaah Idul Fitri yang berbahagia,Selama sebulan Ramadan lalu, kita juga berkorban untuk membuktikan cinta kita kepada Allah. Inilah manifestasi dari sikap tauhid, yakni saat ucap, laku bahkan bersit batin kita semata hanya mementingkan Allah, rela didominasi oleh Allah dan karenanya mau berkorban dengan menegasikan, menyingkirkan dominasi-dominasi atau tuhan-tuhan lain selain Dia. Laa Ilaaha Illallah, tidak ada dzat yang berhak mendominasi kemerdekaanku, kecuali Allah.

Kenapa puasa, karena kita ingin mendidik nafsu, keinginan dan angan-angan, hawa, yang berpotensi mengendalikan dan mendominasi diri kita. Betapa banyak orang-orang yang ketika diberi kekayaan yang melimpah, jabatan yang tinggi, kecerdasan yang mengangumkan, alih-alih mengendalikan, ia justru dikendalikan oleh uang, oleh jabatan, oleh akalnya.

0 Komentar