RADARPEKALONGAN.ID – Soal penurunan nilai uang atau uangmu yang serasa lebih cepat habis, bisa jadi relate dengan masalah inflasi. Ya, konon cara paling gampang memahami dan merasakan dampak inflasi adalah pada nilai uang yang menurun.
Kalau kalian baca sejarah, salah satu contoh inflasi paling ekstrem konon terjadi di Era Bung Karno di tahun 1960 an, ya menjelang gonjang-ganjing G30S/PKI. Kenaikan inflasi mencapai nyaris 600% sehingga disebut hiperinflasi.
Baca tulisan sebelumnya: Imbas Ekonomi Sedang Sulit, Uang Rp 100 Ribu Kian Tak Berdaya?
Baca Juga:[PUISI] Sembagi Arutala[PUISI] Relikui Paras
Kalau menurut penuturan para simbah, itu adalah salah satu era ekonomi paling sulit. Masyarakat bahkan banyak yang tak mampu beli beras sehingga harus makan nasi aking.
Disebutkan bahwa saat itu pemerintah mencetak uang terlalu banyak demi membiayai proyek mercusuar dan membayar hutang. Karena uang rupiah beredar terlalu banyak, maka nilainya pun otomatis menurun. Lalu apa sebetulnya inflasi itu?
Memahami Masalah Inflasi dan Kenaikan Harga Komoditas
Masalah inflasi memang tidak bisa dilepaskan dari harga-harga komoditas. Melansir dari portal bi.go.id, inflasi dapat diartikan sebagai kenaikan harga barang dan jasa secara umum dan terus menerus dalam jangka waktu tertentu.
Perhitungan inflasi dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS), link ke metadata SEKI-IHK. Kenaikan harga dari satu atau dua barang saja tidak dapat disebut inflasi kecuali bila kenaikan itu meluas (atau mengakibatkan kenaikan harga) pada barang lainnya.
Mengutip data Badan Pusat Statistik (BPS), angka inflasi inflasi year on year (y-on-y) pada Februari 2023 adalah sebesar 5,47 persen dengan Indeks Harga Konsumen (IHK) sebesar 114,16. Nah soal data ini, biar para ahli yang menjelaskan lah, penulis mah nyerah, hahaha.
Indeks Harga Konsumen (IHK) ini memuat tujuh kelompok pengeluaran; 1). Bahan Makanan, 2). Makanan Jadi, Minuman, dan Tembakau, 3). Perumahan, 4). Sandang, 5). Kesehatan, 6). Pendidikan dan Olahraga, 7). Transportasi dan Komunikasi.
Nah, dari tujuh kelompok ini, beberapa memang mengalami kenaikan harga yang terus menerus. Sebut saja minyak goreng kemasan yang sejak gonjang-ganjing mafia sawit sampai subsidi pemerintah, harganya saat ini tetap saja masih tinggi kan, naik tak terasa, belum lagi stoknya kadang masih langka. Harga Eceran Tertinggi (HET) nya saat ini Rp 14 ribu, sementara dulu harga normalnya di kisaran Rp 12 ribu sampai Rp 12,5 ribu per liter. Padahal hampir semua rumah tangga mengkonsumsi minyak goreng tiap hari.