RADARPEKALONGAN.ID – Apakah mental laki-laki lebih tangguh dalam soal percintaan dibanding perempuan? Entahlah. Hanya saja, sebagian orang terlanjur meyakini kaum lelaki lebih cepat move on dari keterpurukan karena cinta. Laki-laki karenanya dipandang lebih mudah melupakan mantan ketimbang perempuan. Benarkah demikian, ataukah sebetulnya laki-laki hanya sok tegar?
Tulisan kali ini memang masih relate dengan tulisan sebelumnya yang menyimpulkan kecenderungan kaum perempuan yang sulit melupakan mantan. Sementara laki-laki dipandang sebaliknya. Tetapi beberapa pembaca sedikit protes, tentu saja berbasis pengalaman riilnya. Salah satu pembaca menyebut laki-laki bahkan bisa lebih heroik memperjuangkan cintanya yang telah ambyar, ingin kembali.
Jadi, sebagian perempuan mulai memahami modus operansi laki-laki dalam hal percintaan. Ketika ditanya, apakah sejatinya laki-laki hanya sok tegar, kelompok perempuan ini hanya tersenyum. “May be yes!”
Baca Juga:Simpatiknya, Babinsa dan Bhabinkamtibmas Bantu Evakuasi Pasien ODGJ ke RSUDSempat Sepi, Produksi Ikan Asin di TPI Tanggul Malang Kendal Kembali Menggeliat
“Cowok juga sama, susah melupakan mantannya. Bedanya, cowok pintar mengelola perasaannya, lebih logis.” Begitu kesimpulan seorang teman perempuan. Berkaca dari pengalamannya, laki-laki yang ditinggalkan perempuannya, dia kembali mengejarnya. “Bisa dipastikan, si cowok akan ngejar lagi.” Kesimpulan perempuan ini pun langsung kutimpali. “Kita, kaum laki-laki hanya sok tegar saja.”
Ya ada benarnya juga sih. Tapi kasus ini masih perlu dikulik lebih dalam. Pertanyaannya, laki-laki yang kembali setelah diputus sama pacarnya itu apakah karena cinta mati hingga tak bisa membayangkan hidup tanpa si doi, atau mungkinkah aksinya ini didorong oleh alam bawah sadarnya. Bahwa di dunia yang patriarki ini, laki-laki terlanjur dituntut mendominasi, superordinat, dengan gejala perilakunya yang ekspansif.
Jadi, bisa juga aksi laki-laki yang mengejar kembali perempuan yang telah meninggalkannya itu juga didorong atau minimal dibumbui oleh ego kelelakian. “Semestinya laki-laki yang memutuskan perempuan, bukan sebaliknya. Pantang dong bagi laki-laki untuk diputus sama perempuan.” Mungkin begitu dorongan alam bawah sadarnya.
Gambaran ini juga terlihat dalam kasus perceraian. Kesannya, perempuan reatif lebih sulit untuk menginisiasi cerai (cerai gugat) dibanding suami, yang bahkan lewat ucapan saja sudah bisa mentalak istrinya.