Ssst… Ucapan Sepele Itu Bisa Membekas Seumur Hidup

ucapan sepele yang membekas seumur hidup
Sebelum bicara, perlu di pertimbangkan dampaknya bagi orag lain. (Foto: gencil.news)
0 Komentar

Mungkin bagi Pak Guru, itu tak lebih dari ucapan sepele. Tapi tidak bagiku, perlahan tapi pasti, aku mulai mengurangi gairahku pada pelajaran matematika. Pun sikap ini berimbas pada mata pelajaran eksakta lainnya, satu persatu kutepikan dari prioritas. Aku mulai mengurangi jam belajar di asrama kalau sudah berurusan dengan matematika, fisika, kimia, dan bahkan biologi. Nilai-nilaiku di mapel itu pun lebih sering berada di garis ambang batas.

Suatu waktu, di kelas dua, aku iseng belajar fisika, karena besoknya ada ulangan. Tak disangka, esoknya aku dapat nilai 9, sementara teman-teman sekelas justru nilainya rata-rata jeblok. Termasuk anak-anak yang dianggap pintar. Aku senang, bukti bahwa aku tak bodoh dengan pelajaran eksakta. Tetapi tidak dengan guru pengampunya. Aku dipanggil ke kantor. Tak ada apresiasi, nilaiku yang tertinggi di kelas justru didakwa hasil mencontek. Uch, betapa remuknya perasaanku saat itu.

Mungkin tudingan Ibu Guru Fisika bukan tanpa alasan. Salah satunya karena aku sering terlambat mengikuti jam pelajarannya yang ada di awal. Saat-saat itu aku memang sering terlambat sampai sekolah dan rutin berlari mengitari lapangan sebagai hukuman. Mungkin itu jadi referensi sang guru sebelum membuat dakwaan. Tetapi, untuk anak seumuranku yang tengah bergejolak, jawaban ekstrem pun kuberikan. “Kalau ibu tidak percaya dengan hasil ulanganku, silahkan, saya siap ikut ulangan lagi. Sendiri. Diawasi,” jawabku kesal. Ibu guru pun memilih luluh dan tak melanjutkan perseteruan denganku.

Baca Juga:Alhamdulillah, Per November Realisasi Pajak di Batang Sudah Tembus Rp113,7 miliarKasihan, Gegara Talud Jebol, Warga 5 Desa di Kendal Harus Terdampak Polusi TPA

Masih di kelas dua SMA, suatu waktu guru matematika juga melempar kuis soal. Dalam hitungan 15 menit, semua siswa harus mengumpulkan hasilnya. Dan soal ini mampu kupecahkan dengan mudah, tetapi sementara yang lain maju menyerahkan hasil, aku urung mengumpulkannya.

Mungkin ada 10 sampai 15 siswa yang sudah mengumpulkan, termasuk anak paling pintar di sekolah. Tiba-tiba, teman yang duduk tepat di depanku, meminta bukuku, izin menyalin jawabanku. Namanya Teguh, di kelas dia masuk kelompok anak-anak yang sering dianggap badung oleh para guru, jarang mengerjakan PR, kadang bolos dan lainnya. Tapi herannya lagi, kenapa dia mau mencontek jawabanku. Padahal ia juga tahu, bahwa di kelas aku tak dipandang pintar matematika. Tetapi entah kenapa, aku pun memberikan jawabanku ke si Teguh dengan senang hati. Mungkin sebagai pembelaan diri, bahwa aku sebetulnya pintar matematika.

0 Komentar