Yang Kamu Benci, Bisa Saja jadi Penyelamatmu

Yang Kamu Benci, Bisa Saja jadi Penyelamatmu
Sumber foto: https://t-2.tstatic.net/
0 Komentar

Maka setiap kali aktivitas tikus terpantau mata, jangan tanya apa yang kulakukan. Yang pertama kucari adalah sapu atau kayu, lantas berlangsung lah proses kejar-kejaran selayaknya Tom and Jerry. Ini adalah kombinasi sempurna antara benci, aksi balas dendam, dan kadang kesewenang-wenangan. Tentu saja jika perburuannya suks dan tikus tekapar, tidak mati, lalu kita buang di kebon tetangga (Yang ini jangan ditiru yak).

Lalu apa yang terjadi jika buruan kita lepas, dan mungkin ini yang lebih sering terjadi? Ya biasa saja sih, paling cuma capek dan ngos-ngosan. Itu gejala klinis ringannya. Yang terberat tentu saja kebencian dan kemarahan kita yang bisa meningkat eksponensial, plus perasaan gelo sedikit lah.

Nah, suatu hari, aku merebus air dengan ketel berteknologi uap seperti kereta api tempo dulu. Hanya saja si ketel itu sudah tak mengeluarkan bunyi, mungkin sudah lelah dimakan usia. Dan seperti menjadi kebiasaanku dan mungkin kalian, setelah gas dinyalakan, ditinggal dong. Mosok mau ditungguin, kaya orang lairan aja.

Baca Juga:Mantan Wakil Bupati Kendal Ini Didorong Maju Pencalonan Ketua PCNUAwal Desember, Perumda Sendang Kamulyan Sudah Realisasikan Target Dividen Rp 4 Miliar

Sambil menunggu mendidih, kutinggal ngetik di ruang tengah. Masalahnya, jarak ruang tengah dengan dapur ini lumayan jauh gaes, ya sekitar 12 meter. Masalah kedua, kalau sudah ngetik, ngopi, sambil menikmati songlist hasil algoritma youtube, mendadak aku suka amnesia, lupa daratan, eh rebusan. Singkat cerita, setelah kurang lebih setengah jam, terdengar suara tikus yang sepertinya sedang beraksi, menyisakan bunyi glotak glotak dari arah dapur. Sontak terprovokasi dong, tapi karena sedang asyik menulis, ya responnya cuma nengok ke arah dapur yang tertutup dinding leter L.

Hanya tengokan sesaat, dan mata kembali menghadap layar monitor. Tetapi mendadak seperti ada pemandangan yang terlewatkan, nengok lagi ke arah belakang. “Kok belakang terang banget ya,” batinku. Belum sempat kaki beranjak, suara keras terdengar. “Duaarrr”.

Astaghfirullah, spontan lari ke belakang. Api berkobar besar di atas tungku gas, membakar ketel yang tak lagi bertutup. Sementara ujung lehernya nyaris habis dilalap api. Mataku menyapu sekitar, dan tutup ketel sudah tak bernyawa di bawah rak piring. Tubuhnya nyaris hangus seluruhnya, bagian bermaterial plastik sudah meleleh. Mungkin suara ledakan tadi bersumber dari tutup ketel yang terlempar karena tak kuat menahan tekanan panas dari sisa-sisa air dalam ketel.

0 Komentar