Itu menjadi salah satu penyebab mengapa sulit mencetak spesialis. Akibatnya jumlah dokter spesialis sangat kurang.
Menkes tidak sependapat kalau persoalannya bukan jumlah melainkan penyebarannya. “Saya siap berdebat dengan siapa pun soal ini. Asal debat ilmiah. Pakai data,” katanya. “Penyebarannya memang kurang bagus. Tapi jumlahnya juga sangat kurang,” katanya. Di forum itu lantas dibicarakan soal kemampuan universitas memproduksi spesialis. Jumlah fakultas kedokteran hanya 92. Yang punya spesialis hanya 20. Kemampuan tiap tahunnya sudah terbukti segitu. Bagaimana bisa mengejar kekurangan spesialis. “Sampai kita mati pun belum akan terkejar,” kata Budi Sadikin. “Kita ini sudah 77 tahun merdeka. Mengapa belum juga bisa memenuhi amanat kemerdekaan,” tambahnya.
Maka Menkes bertekad akan mengubah semua itu. Sudah terbukti: dengan cara sekarang ini tidak akan mampu mencetak spesialis yang cukup. Maka sebentar lagi yang bertugas mencetak spesialis bukan lagi fakultas kedokteran. Tugas itu beralih ke rumah sakit. Yang meluluskan spesialis bukan lagi fakultas kedokteran, tapi rumah sakit. Bukan kementerian pendidikan tapi kementerian kesehatan. “Yang merasakan perlunya spesialis adalah rumah sakit. Toh kuliah mereka juga di rumah sakit,” katanya.
Baca Juga:Perpustakaan UIN KH Abdurrahman Wahid Sharing Knowledge dengan Perpustakaan UIN Sunan Kalijaga dan Universitas Gadjah Mada YogyakartaTimnas MLBB Indonesia Sukses Masuk Grand Final IESF WEC 2022
Maka, kalau yang mencetak spesialis nanti bukan lagi universitas mereka tidak perlu lagi membayar uang kuliah. “Dan lagi, jumlah rumah sakit jauh lebih banyak daripada fakultas kedokteran,” ujar Budi Sadikin.
Kalau ”university base” benar-benar berganti menjadi ”hospital base” ini sebuah transformasi yang besar di dunia kedokteran dan kesehatan.
Menkes pun blak-blakan mengungkapkan: mengapa universitas sebesar Gadjah Mada tidak punya program spesialis paru. “Itu hanya karena prodi penyakit dalam tidak rela ada program spesialis paru,” katanya. “Ini sangat tidak masuk akal. Tidak ilmiah sama sekali,” tambahnya.
Hal serupa terjadi di Universitas Sriwijaya, Palembang. Di sana tidak bisa membuka spesialis jantung. “Penyebabnya hanya karena program spesialis lain tidak setuju,” katanya.
Sentimen-sentimen seperti itu tidak akan terjadi kalau untuk menjadi spesialis sudah beralih ke ”hospital base”. “Toh di berbagai negara memang begitu. Semua melakukan hospital base,” katanya. Maka Menkes bertekad akan membuka program spesialis di Papua. Ia mendengar banyak yang mengingatkan soal kualitas dokternya nanti. Tapi ia mengajukan pertanyaan yang harus dijawab: so what? “Apakah kita membiarkan begitu saja mereka ditangani dukun?” katanya. “Meski hasilnya nanti, katakanlah, tidak sebaik yang di Jawa, pasti masih lebih baik dari dukun,” tambahnya sambil menahan senyum.