Tidak seperti Sari yang kukenal periang, kali ini ia amat irit bicara. Ekspresinya pun minim, ya hanya senyum simpul yang begitu stabil sejak tadi. “Kamu sakit Sar?”
Belum sempat Sari menjawab, sebuah pengumuman dari pengeras suara memecah seisi ruangan. “Panggilan kepada penumpang Bus Sinar Jaya nomor B 5221 JI jurusan Tegal-Jakarta untuk segera naik kembali ke dalam bus, karena perjalanan akan segera dianjutkan…”
Sari pun beranjak, menghampiriku. “Aku berangkat dulu ya,” pamitnya sambil memelikku dengan amat erat. Seperti tak ingin melepasnya. Aku bahkan harus mengatur tempo nafasku saat pelukan itu ia lepaskan.
Baca Juga:[PUISI] Luka KemarinYang Kamu Benci, Bisa Saja jadi Penyelamatmu
Sari berjalan ke arah bus terparkir. Langkahnya ringan, tapi terlihat cepat. Amat lembut. Tidak ada tolehan, tidak ada lambaian tangan. Dan mendadak suasana ruangan terasa ngelangut. Hembusan angin malam terasa lebih dingin dari sebelumnya.
***
“Kamu nggak salah orang kan?” Ibu mengucapkan itu dengan tatap serius. Kerutan keningnya bertambah, mimik wajahnya tampak menegang. Sementara bibir tuanya sedikit bergetar. Mendadak suasana hening sesaat.
“Lek, kamu belum dengar kabar soal Sari ya?”
“Kabar apa Bu? Kenapa dengan Sari Bu? Jangan-jangan…… Dia nggak kabur dari rumah kan Bu?” Pikiranku mendadak dihantui rasa ingin tahu yang mendesak-desak, bikin dada berkontraksi, nafas semakin sesak.
“Tenang ya Lek. Sari sudah meninggal sebulan lalu, katanya sakit kanker sudah lama.”
Duarr….suara Ibu serupa petir yang bersipongang di gendang telinga. Aku yang hendak berdiri, lantas limbung, lemas tersungkur ke lantai.
Ibu langsung memelukku dengan hangat, mencoba menenangkanku. Dia terus mengusap kepalaku.
“Terus, Sari yang kutemui di rest area itu siapa Bu? []
____________
*Sayur towel