Radarpekalongan.id – Peran perempuan dalam konstelasi Pemilu 2024 terbilang cukup besar, baik dari sisi peserta, penyelengara maupun pemilih. Namun kondisi saat ini, terutama dari sisi pemilih, posisi perempuan dinilai masih lemah.
“Dari sisi pemilih, masih banyak pemilih perempuan yang menentukan pilihannya tidak berdasarkan kesadaran sendiri. Tapi berdasarkan pada bisikan-bisikan. Mereka seringkali dipesan untuk memilih pilihan tertentu,” ungkap Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam, UIN KH Abdurrahman Wachid, Shinta Dewi Rismawati saat menjadi narasumber dalam kegiatan Sosialisasi Peran Perempuan dalam Pelaksanaan Pemilu Serentak tahun 2024, Selasa 13 Desember 2022.
Shinta mencontohkan, perempuan seringkali dipengaruhi keluarga terutama suami. Kemudian dari pihak luar, mereka juga seringkali menentukan pilihan berdasarkan arahan dari tokoh-tokoh agama.
Baca Juga:Inggris Dikabarkan Incar Pelatih Asing untuk Gantikan SouthgateMeski Tanpa Juara, Maroko Sudah Memenangkan Segalanya
“Ini realitas di lapangan. Pemilih perempuan rentan bisikan. Misalnya dipesan oleh suami untuk memilih calon tertentu. Mereka tidak berani menolak karena takut ada ribut-ribut. Kemudian juga rentan dipengaruhi oleh tokoh agama karena masih manut,” kata Shinta dalam kegiatan yang dilaksanakan di Hotel Dafam tersebut.
Selanjutnya dari sisi peserta, Shinta menilai keberadaan perempuan dalam beberapa persyaratan peserta pemilu masih sebatas menjadi objek. Misalnya keterwakilan 30 persen perempuan dalam daftar caleg di satu parpol. Banyak perempuan yang diikutsertakan namun hanya sebagai pelengkap untuk memenuhi syarat.
“Beberapa memang sudah ada yang karena kemauan sendiri untuk berkiprah. Karena faktanya, dari jumlah yang maju sebagai caleg hanya beberapa yang berhasil duduk di kursi DPRD. Yang lolos tidak sampai 30 persen padahal semua parpol ada wakil perempuannya. Jadi kemana suara perempuan? apa yang terjadi?” ujarnya.
Padahal dikatakan Shinta, jika suara pemilih perempuan disatukan maka memiliki kekuatan besar untuk mempengaruhi kebijakan terutama yang berpihak pada perempuan. “Kenapa perempuan perlu memilih? itu hak dasar kita. Selain itu, dengan memilih perempuan sebagai wakil di parlemen, kita bisa mendorong kebijakan yang pro dan ramah terhadap perempuan,” katanya.
Untuk merubah kondisi tersebut, dikatakan Shinta ada beberapa hal yang perlu dilakukan. Pertama dilakukan pendidikan politik untuk perempuan, diberikan literasi dan edukasi menjadi pemilih cerdas, mewujudkan pemberdayaan ekonomi bagi perempuan serta menanamkan prinsip ‘my vote my authority’.