Tali Simpul Pesantren di Lasem: Menelisik Dzurriyah Kiai Abdul Aziz bin Baidhowi Awal

Makam Mbah Sambu Lasem
Makam Mbah Sambu (Sayyid Abdurrahman), Lasem. (Maps/@khoerulbani)
0 Komentar

Oleh: K.H. Ahmad Zaki Mubarok

RADARPEKALONGAN.ID – Kearifan Lasem tak akan pernah habis untuk digali dan diperbincangkan. Namun sisi lain Lasem sebagai 𝙟𝙪𝙟𝙪𝙜𝙖𝙣 dan magnet bagi ribuan santri lintas zaman belum banyak terungkap dan tersingkap lebih dalam di balik keragaman yang dimiliki Lasem.

Lasem sendiri kerap di-blow up dengan slogan-slogan yang hanya mengangkat kelompok atau etnis tertentu saja, tak heran jika kemudian menyisakan ruang perdebatan dan pro-kontra karena banyaknya tarik-ulur “kepentingan” dan minimnya unsur keterwakilan.

Jargon-jargon spesifik yang selama ini diusung seakan turut memburamkan kultur santri dan menafikan kemajemukan yang telah tumbuh lestari di kota penghasil batik tulis ini sejak dulu kala.

Baca Juga:Kapankah Protein Perlu Dikonsumsi?Perikanan Tangkap Cetak Rekor PNBP Sebesar Rp1,26 Triliun selama Tahun 2022

Barulah kemudian muncul jargon baru dari kota yang dulu pernah menjadi pusat pemerintahan sebelum akhirnya dipindah oleh Belanda ke Kota Rembang, yaitu: “𝙻𝚊𝚜𝚎𝚖 𝚔𝚘𝚝𝚊 𝚙𝚞𝚜𝚊𝚔𝚊” atau dalam istilah lain disebut heritage city sebagai jalan tengah dan babak baru 𝙣𝙮𝙚𝙣𝙜𝙠𝙪𝙮𝙪𝙣𝙜 (memikul) bersama berbagai macam elemen yang ada di Lasem termasuk di dalamnya komunitas kaum santri yang menjadi bagian penting dari perjalanan sejarah dan peradaban Lasem dari masa ke masa.

Seperti halnya rencana revitalisasi kota Lasem yang konon akan dimulai tahun ini. Pada awalnya prosentasi di antara potensi dan kepentingan yang ada sangatlah timpang dan jauh dari kata imbang.

Beruntung teman-teman yang terhimpun dalam perkumpulan masyarakat-santri Lasem cukup peka dan merespon cepat poin-poin penting khususnya yang terkait dengan peninggalan syiar Islam dan kepentingan kaum muslim untuk lebih diakomodir dalam grand design kota pusaka Lasem agar terlihat lebih “wajar” dan lebih proporsional.

Meski cukup panjang, tulisan berikut ini mencoba kembali mengangkat realita kehidupan agamis dan simpul Lasem dari sisi kaum “sarungan” yang terkesan tenggelam dari hingar-bingar.

Ini dianggap perlu mengingat Lasem adalah titik penting penyebaran Islam di pesisir utara dan termasuk dari mata rantai pesantren di Pulau Jawa yang telah menelurkan ulama’-ulama’ masyhur baik secara biologis (dzurriyah) maupun idiologis (santri/alumni).

Di antara para kiai alumni Lasem dapat kita runtut semisal: Abuya Dimyathi Banten, Kiai Chudhori Tegalrejo, Kiai Abdullah Faqih Langitan, Putra-putra Kiai Djazuli Ploso (Kiai Zainuddin, Kiai Nurul Huda, Kiai Fuad), Kiai Muslih Mranggen, Kiai Abdullah Abbas Buntet, Kiai Fuad Hasyim Buntet Cirebon, Kiai Maimoen Zubair Sarang, Kiai Bishri Musthofa Rembang, Kiai Thoifur Purworejo, Kiai Miftahul Akhyar Surabaya, Kiai Abdullah Schal Bangkalan dan (tanpa mengurangi rasa hormat) masih banyak lagi kiaI-kiai lainnya yang belum disebutkan.

0 Komentar