Keturunan selanjutnya adalah hasil
pernikahan kedua Mbah Aziz dengan Nyai Mukminah binti Mahalli Sulang beberapa waktu setelah Nyai Qoni’ah wafat. Menurunkan 6 putra dan putri, yaitu:
- Nyai Mustabsyirah menikah dengan Kiai Usman. Mempunyai satu keturunan namun wafat saat kecil. Jika menyempatkan datang di komplek Pesantren Al-Wahdah Sumbergirang Lasem, tempat kediaman beliau dahulu berada di dekat pohon Sawo timur pondok. Menurut cerita, Nyai Usman adalah pengajar al-Quran. Di antara yang pernah mendapat tempaan dan didikan langsung dari beliau adalah para kerabat dekat dan masyarakat awam lainnya. Baik Kiai Usman maupun Nyai Mustabsyiroh makamnya berada di utara Masjid Lasem bersama dengan para sesepuh lainnya.
- Kiai Zuhdi, penggagas sekaligus termasuk pendiri dan pengurus NU pertama cabang Pekalongan. Setelah diminta menjadi menantu Kiai Nahrowi Kergon beliau lalu tinggal dan mukim di Pekalongan, meninggalkan Lasem dan menebar ilmu di sana. Sempat juga merintis madrasah keagamaan di Pekalongan bernama Al-Jailaniyah (mirip dengan nama madrasah di Masjid Jami’ Lasem beberapa dekade lalu). Mengawali hijrah di Pekalongan Kiai Zuhdi diserahi sebuah Musholla bernama Al-Mubarok di daerah Kergon yang tahun berdirinya tertulis 1917. Sepeninggal Kiai Zuhdi, spirit ngaji dan dakwah di Kergon dilanjutkan oleh menantu beliau yakni Kiai Ubaidullah putra dari Kiai Irfan Kaliwungu Kendal yang mempersunting Nyai Syafi’ah binti Zuhdi. Kiai Zuhdi dimakamkan di komplek pemakaman Sapuro, satu kawasan dengan makam Habib Ahmad bin Abdullah bin Thalib al-Aththas shohibul karomah Pekalongan.
- Kiai Baidhowi II (tambahan “II” untuk membedakan dengan Kiai Baidhowi I) lahir di tahun 1880. Setelah Nyai Halimah binti Shiddiq Rembang wafat, Mbah Baidhowi kemudian menjatuhkan pilihan dan membangun rumah tangga yang kedua kalinya dengan Nyai Hamdanah binti Ahmad Sholeh yang masih keturunan Kiai Abdul Qohhar Blora saudara dari Kiai Mutamakkin Kajen Pati (keduanya masih terbilang keponakan Mbah Sambu). Beberapa menantu Kiai Baidhowi di antaranya: Kiai Zawawi bin Ashari Lasem, Kiai Thohir bin Nawawi Kajen (Pondok Roudhoh Ath-Thahiriyah), Kiai Wahib bin Wahab Hasbullah Jombang (Pondok Bahrul Ulum Tambakberas), Kiai Masykuri Lasem (Pondok Kuttabul Banat), Kiai Hasan Fatah Banjarnegara (Pondok Al-Fatah Parakancanggah), Kiai Mas’ud Busyro Blora dan Kiai Maimoen Zubeir (Pondok Al-Anwar Sarang). Sepeninggal Kiai Baidhowi yang wafat di tahun 1970, tradisi ngaji di Pesantren Al-Wahdah kemudian diampu oleh Kiai Abdul Halim dan Kiai Abdul Hamid dan diteruskan oleh generasi dan dzurriyah setelahnya.
- Kiai Abdul Muhaimin, dikenal sangatlah alim. Tak berlebihan jika kemudian diambil mantu dua kiai besar, Kiai Hasbullah Tambakberas dan Kiai Hasyim Asy’ari Tebuireng. Tinggal lama di Mekkah hingga wafatnya. Sempat menjadi mudir utama Madrasah Darul Ulum Mekkah (setelah wafat digantikan Syeikh Yasin al-Fadani) dan menyokong sepenuhnya madrasah perempuan pertama di Mekkah yang didirikan Nyai Khairiyah istri beliau. Wafat tanggal 11 Dzulhijjah 1365 H atau bertepatan dengan tahun 1946. Dimakamkan di Ma’la bersama kedua putra-putrinya yang meninggal di waktu kecil. Sedangkan Nyai Khoiriyah sendiri kemudian kembali ke Seblak Jombang meneruskan semangat ilmiah dan berjibaku di tengah-tengah santri dan dunia pesantren bersama putra-putri dari hasil pernikahan pertamanya dengan Kiai Maksum Ali.
- Kiai Suyuthi menikah dengan Nyai Nafisah binti Nawawi (cucu Kiai Shiddiq) Rembang. Setelah menikah beliau diminta hijrah dari Lasem ke Tasikagung untuk konsen ngopeni ngaji. Beliau juga berbesanan dengan Kiai Kholil Harun Kasingan Rembang, menikahkan Nyai Hafidhoh binti Suyuthi dengan Kiai Suyuthi bin Kholil (kakak dari Nyai Bishri Musthofa Leteh). Untuk mengenang dan tabarukan kepada mertua beliau, kemudian Kiai Suyuthi mendirikan pesantren bernama An-Nawawiyah di Tasikagung. Di samping itu, salah satu putranya dari pernikahan keduanya dengan Nyai Aisyah binti Dinul Hadi bin Abdullah Faqih juga mendirikan pesantren di daerah Ngadipurwo Blora dengan nama Al-Hikmah di tahun 1988 dan Kiai Nadjib bin Suyuthi sebagai muassisnya. Begitupun juga dengan keberadaan Pesantren Qur’an Al-Banjari di Tunjungan Blora yang juga dirintis oleh dzurriyah Kiai Suyuthi dari putri bungsu beliau Nyai Iffati.
- Nyai Mustarikhah, menikah dengan sepupunya sendiri yaitu Kiai Zahri bin Mujahid bin Baidhowi Awal. Selain meneruskan lampah dan aktifitas ngaji dan dakwah yang terkonsentrasi di Musholla al-Mujahid di dusun Kejuron Lasem, kini juga telah didirikan pondok pesantren al-Mujahid di sampingnya. Sebagai bentuk nguri-nguri tinggalan dan perjuangan para sesepuh dengan mendidik anak-anak (utamanya yatim piatu dan kurang mampu) agar tetap bisa mengaji dan belajar ilmu agama. Kiai Zahri Mujahid sendiri merupakan adik kandung dari Kiai Ridwan Mujahid, seorang tokoh yang turut menjadi pendiri NU 1926 di Surabaya bersama Mbah Hasyim Asy’ari, Mbah Maksum, Mbah Kholil Masyhuri, Mbah Ridwan Abdullah dan muassisin lainnya.