Dalam situasi penuh ketakutan dan kepanikan, karena merasa berada di ambang kematian, kira-kira apa yang akan kamu lakukan bersama teman-temanmu yang atheis itu. Apakah tetap akan menolak Tuhan, atau mendadak luluh dan berdoa penuh harap kepada Tuhan. Ya, saat segala peluang untuk hidup nyaris tak ada, saat itulah kamu secara naluriah akan berdoa kepada Tuhan. Bahkan meski dengan narasi yang menantang Nya.
“Tuhan, kalau memang Engkau benar-benar ada dan Maha Kuasa, maka buktikanlah. Selamatkan kami dari kematian. Kalau aku selamat, aku berjanji akan belajar megenal-Mu, dan patuh dengan perintah-perintah-Mu.”
Belajar dari Atheismenya Laurence Brown
Begitulah manusia, ketika nyawanya terancam, mengalami takut yang tak tertahankan, keputusasaan, barulah ia mengakui kekuatan besar di luar dirinya: Tuhan. Nah, meski cerita ini hanya asumsi simulatif, bukan berarti tidak ada kasus nyatanya loh.
Baca Juga:Pengaruh Lingkungan Sekitar untuk Pengembangan Kreatifitas Anak Usia DiniTetap Tenang dan Waspada, Aktivitas Gunung Dieng Masih Terkendali
Pengalaman ini pernah dikisahkan Dr Laurence Brown. Bukan kehidupannya yang terancam, melainkan putrinya yang baru lahir, karena mengalami penyempitan pada lengkungan pembuluh darah aortanya, sehingga aliran darahnya terganggu. Tubuh si anak pun membiru, bukti oksigen tak mengalir dengan baik. Sebagai seorang dokter bedah di George Washington Hospital, ia sadar betul, satu-satunya jalan untuk menangani putrinya adalah dengan pembedahan jantung, meski peluangnya bayinya untuk selamat tetap saja kecil.
Laurence Brown pun dihantui ketakutan dan kepanikan. Sampai ketika putrinya segera menjalani proses pembedahan, ia yang telah lama hidup dengan keyakinan atheismenya memilih berdoa di sebuah ruang berdoa rumah sakit. Sebagai atheis, inilah pertama kalinya Brown berdoa dengan tulus, pun tetap dengan sebagian keangkuhannya yang menolak Tuhan.
“Tuhan, jika Tuhan itu memang ada, Tuhan pasti akan menyelamatkan putri saya, saya berjanji akan mencari dan mengikuti agama yang paling menyenangkan hati-Nya,”.
Singkat cerita, keajaiban pun terjadi. Tubuh anaknya membaik dan kembali normal tanpa melalui pembedahan sama sekali. Dr Maurice Brown pun menunaikan janjinya, 10 tahun mencari agama yang benar, sampai akhirnya memutuskan menjadi mualaf.
Manusia dengan potensi akalnya memang bisa menjadi hebat, tetapi sekaligus berpeluang angkuh hingga mencoba mengingkari eksistensi Tuhannya. Seperti juga dialami Maurice Brown; I Spent all of time denying God. Karena selama ini dia merasa selalu mampu menguasai dirinya, dan menyelesaikan semua masalahnya. Dia tidak pernah dihadapkan pada keputusasaan, sampai putrinya yang baru berumur satu hari dalam kondisi sekarat dan harus menjalani bedah jantung. Dalam situasi persimpangan yang diliputi takut, panik, bahkan hopeless inilah Brown mencoba kembali pada Tuhan.